17: Didewasakan

15 10 0
                                    

Petang ini, kafe lumayan ramai. Kebanyakan pengunjungnya adalah remaja seusiaku, banyak juga beberapa anak sekolah yang aku tahu ada di sana karena letaknya yang tidak jauh dari sekolahku serta harganya yang ramah di kantong pelajar. Aku menuju lantai dua kafe. Lanai dua kafe ini terdiri dari 2 area, indoor dan outdoor. Area indoor dan outdoor hanya dibatasi oleh pintu kaca. Aku menuju outdoor karena Jafar bilang ia ada di sana.

Tidak butuh lama bagiku untuk menemukan Jafar. Bingkai kacamatanya yang sudah sangat aku hapal itu membuatnya mudah dikenali. Ia duduk di kursi yang menghadap langsung ke jalanan, yang berada di tepian. Tempat favorit kami di kafe ini.

"Lama banget cok," omelnya begitu aku duduk di sebelahnya.

"Gue udah ngebut," balasku.

Di meja sudah tersedia makanan dan minuman milikku yang sebelumnya sudah Jafar pesan. Aku langsung melahap makanan itu.

"Lo abis latihan voli atau kuli, cok?" tanya Jafar, melihatku makan dengan sangat lahap.

Aku hanya mendelik padanya lantas melihat di hadapannya hanya tersedia segelas es kopi yang sudah sisa setengah.

Usai menghabiskan semua makananku hingga tak menyisakan sesuatu pun, aku berkata. "Tumben banget lo ngajakin gue ke sini?" tanyaku heran.

"Sekali-kali, cok, kita udah lama gak ke sini," ucap Jafar, memandang pada jalanan di bawah kami yang tampak ramai.

Aku mengangguk setuju. Benar sekali. Dulu saat masih kelas sepuluh dan sebelas, aku dan Jafar sering ke kafe ini tiap pulang eskul voli. Namun sejak kesibukan kelas dua belas melanda serta kesibukan kami masing-masing, kami jadi jarang ke sini.

"Lo udah nentuin jurusan apa buat lewat undangan?" tanyaku. Aku teringat kemarin saat guru BK ke kelasku memberikan penyuluhan tentang jalur-jalur masuk perguruan tinggi.

"Pilihan 1 gue pendidikan guru SD, pilihan 2 gue kriminologi."

Mataku membesar mendengar jawabannya. Lantas aku mengangguk, menyetujuinya. Jafar menjadi guru ... menurutku itu cocok untuknya. Tidak sepertiku, ia paham cara menghadapi anak kecil. Berbekal pengalamannya sebagai kakak dari tiga orang adik, ia pasti bisa. Tapi pilihan ke-duanya, kenapa kriminologi?

"Kenapa kriminologi?"

"Gak apa-apa, kedengerannya keren aja," jawabnya santai.

Tipikal Jafar sekali yang memilih sesuatu dengan alasan yang kadang tidak jelas. Beruntung ia pintar sehingga meletakkan jurusan itu di pilihan ke-dua.

"Lo harus lolos jadi pemain timnas," ucap Jafar.

"Lo juga harus masuk perguruan tinggi," ucapku.

Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Seolah baru kemarin kami di kafe ini, di spot ini, membahas tentang episode anime yang baru keluar minggu ini atau volume terbaru manga yang rilis bulan ini, tapi sekarang di sini kami membahas tentang kuliah, tentang cita-cita kami, masa depan kami. Kami akan menjadi orang dewasa yang sibuk menggapai kehidupan yang sebenarnya. Aku takut dan semangat di saat yang bersamaan.

"Oh, ya, Iona ngambil jurusan-" Ucapan Jafar tiba-tiba terhenti. "Gak jadi, cok."

"Lanjutin aja."

Jafar sudah tahu perkara aku yang memutuskan untuk mundur perlahan-lahan dari Iona dan berusaha cukup dengan menjadi teman saja. Awalnya Jafar memprotes, mengatakan usahaku sia-sia selama ini untuk mendekati Iona dan Roos pada akhirnya akan menang. Namun setelah aku jelaskan situasinya, ia mengerti dan berjanji akan membantuku melupakan Iona dengan tidak membahas apapun tentang Iona. Tapi terkadang ia suka lupa.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang