5

250 55 5
                                    

Ditunggu vote dan komennya 🥰

###
An Na mengamati lapangan olahraga, tempat dimana beberapa anak kelas sebelas sedang melakukan peregangan. Sudah seminggu berlalu sejak dia menjadi anak magang di SMA Saerim, dan selama itu pula dia mengamati adik Dae Han. Remaja cewek nakal yang galak dan kasar.

Im Min Gi. Sebenarnya dia adalah perempuan yang memiliki wajah manis, rambut panjang sepunggung dan memiliki dimple kecil ketika dia tersenyum. Sayang sekali, sangat susah untuk mendekatinya.

"Sepertinya ibu sangat tertarik pada siswa-siswa kelas XI B, ya?" Komentar itu membuat An Na menoleh. Seorang laki-laki guru muda, berumur sekitar awal tiga puluh tahunan, memakai kacamata baca bulat tersenyum kepadanya.

"Mereka membuat saya bernostalgia, meski saya belum setua itu," An Na tertawa kecil. "Apa ada yang bisa saya bantu, Pak Ko?"

"Ah, tidak," walikelas Im Min Gi itu berjalan mendekati An Na, mengamati anak didiknya dari jendela yang sama. Lelaki itu tampak termenung sambil meraba saku celana, mengeluarkan rokok dan korek.

"Waduh! Maaf, tapi saya tidak mengijinkan asap rokok disini, Pak!" An Na menegur. Pak Ko tertegun, kemudian nyengir dan menyimpan kembali dua barang itu.

"Maaf, kebiasaan ketika stres," katanya. Lelaki itu kembali mengamati anak didiknya yang sedang berlari memutari lapangan. "Apakah dulu di sekolah ibu ada anak yang tergolong nakal?"

Wah, pertanyaan yang menarik, pikir An Na. "Entahlah, nakal seperti apa yang bapak maksud?" Tanya An Na balik.

Pertanyaan An Na sepertinya sulit untuk di jawab, karena Pak Ko termenung lebih lama. "Yah, mungkin nakal bukan istilah yang tepat," akhirnya lelaki itu menyahut dengan nada kalah. "Hanya saja, saya tetap khawatir."

"Biar saya tebak," ucap An Na. "Apakah ini mengenai Im Min Gi?"

Pak Ko menoleh kaget ke arah An Na sebelum meledak tertawa.
"Maaf, seharusnya aku tidak tertawa! Aku hanya takjub, bagaimana mungkin anda sudah mengenal Min Gi dalam waktu seminggu? Apa Min Gi melakukan sesuatu pada anda?"

"Oh, bukan," An Na tersenyum ringan. "Min Gi hanya terlalu mencolok."

Pak Ko menghela napas panjang. Lelaki tampak sedang banyak pikiran.

"Apa yang bapak khawatirkan? Siapa tau saya bisa bantu? Atau sedikit meringankan beban bapak?" An Na menawarkan dengan ramah.

Pak Ko tersenyum kecil.
"Saya hanya khawatir, mungkin, Im Min Gi harus berhenti sekolah mulai semester depan," katanya.

"Ya? Apa karena kelakuannya di sekolah?" Tanya An Na kaget.

"Salah satunya, tapi itu bukan alasan utama," jawab Pak Ko. "Ini mengenai biaya sekolah. Keluarganya belum membayar biaya sekolah sejak kenaikan kelas. Saya sudah berusaha membantu, tapi tampaknya tidak ada pergerakan dari pihak keluarga Im Min Gi. Tentu saja, saya sudah tau mengenai keadaan keluarga anak itu. Sungguh disayangkan kalau Min Gi harus putus sekolah."

"Apa bapak sudah bicara dengan Im Min Gi mengenai ini?" An Na bertanya.

"Sudah," jawabnya getir. "Tapi Min Gi berkata bahwa itu adalah hal yang bagus karena dengan begitu, dia bisa mencari uang untuk dirinya sendiri."

An Na terdiam. Dia tidak tau apakah Dae Han mengabaikan Min Gi atau tidak. Bukankah Dae Han sendiri sedang kuliah?

"Saya akan bantu berusaha bicara pada Im Min Gi," kata An Na. "Saya belum pernah mengobrol langsung dengannya, tapi saya akan berusaha. Biar bagaimana pun, sekolah adalah hal yang penting untuk anak seusianya."

###

Akhirnya, lukisan itu selesai juga! Dae Han meletakkan kuasnya, lalu meregangkan otot-otot sendinya yang kaku. Matanya juga terasa pedas karena saking lamanya memelototi kain kanvas.

ACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang