SEUMUR hidup gue nggak pernah tahu bagaimana rasanya disiapkan baju oleh orang lain ketika akan berangkat kerja. Dari kecil ibu sibuk nyari nafkah untuk membesarkan gue dan kadang justru dia yang berangkat lebih pagi. Dewasa gue seperti tinggal masing-masing dengan Papa meski berada satu rumah. Mau nggak mau, gue didesak keadaan untuk bisa mandiri sejak kecil.
Namun hari ini ketika keluar kamar mandi, seseorang sudah berdiri menunggu di depan pintu. Dia nggak lagi berteriak sambil istighfar ketika melihat gue keluar dari kamar mandi, karena gue keluarnya pake handuk kimono. Mungkin reaksinya masih sama kalau gue keluar masih pakai selembar handuk kayak kemarin.
"Mandi pake air hangat, kan?" Sekitar jam tujuh itu, dia melarang gue untuk mandi sebenarnya. Demam gue baru banget turun setelah hampir semalaman terus naik. Dia takut gue demam lagi, tapi nggak mungkin gue mau ketemu orang penting nggak mandi dulu.
"Pake air hangat, cek aja kalau nggak percaya..." Gue mengulurkan tangan gue yang masih penuh dengan rintik-rintik air. Dia malah mendelik malas dan berlalu menuju walk in closet tempat baju-baju gue di gantung, lihai menyembunyikan wajah tersipunya. Shafira sudah lebih dulu mandi ketika gue pulang berjamaah subuh. Anehnya dia masih menggunakan hijab dan pakaian tertutup pagi ini.
"Aku mau menyiapkan baju kerja kamu, tapi bingung kamu mau pake setelan apa buat berangkat hari ini?" Gue mengikuti kemana dia berjalan.
"Apa aja, pasti aku pake..."
"Kalau aku menyiapkan thawb sama simagh merah, bakalan dipake kerja juga memang?" Thawb semacam pakaian terusan sepanjang tumit khas Arab yang biasanya memiliki lengan panjang dan serupa dengan kaftan. Sementara simagh lebih dikenal dengan sorban di Indonesia.
"Paling nanti klien ngira aku pulang salat subuh nggak sempat ganti baju, atau ngira pake pakaian hadiah umrah." Shafira tertawa kecil sambil memilihkan beberapa setelan kerja. Setelah mendapatkan yang menurutnya cocok, dia berjalan menuju lemari sepatu.
"Sepatu glowing nih. Masyaallah..." katanya, ketika melihat sekitar empat sampai lima pasang sepatu kerja gue. Dulu satu lemari itu isinya penuh. Gue membagikannya ke rekan kerja, saudara jauh, siapapun yang membutuhkan dan ukuran kakinya sama dengan gue setelah menyadari beberapa sepatu hanya nongkrong tanpa pernah gue pakai bertahun-tahun.
"Sepatu glowing. Apa maksudnya?"
"Aku hafal semua jenis, brand, dan warna sepatu yang sering kamu pake ke kantor, karena selama kerja di Nata Adyatama, aku cuma bisa nunduk setiap kali berjalan di belakang kamu. Kilap sepatunya sampai bikin minder." Gue tertawa kecil mendengar itu. Dia memilih salah satu sepatunya, kemudian berlalu menuju rak-rak yang berisi parfum.
"Sebenarnya aku nggak serajin dan seapik itu ngerawat sepatu, Ra. Cuma dari jaman kuliah, di perempatan sebelum jalan utama ke kantor Nata Adyatama, di pinggir jalan sebalah kanan itu ada kakek-kakek yang menjual jasa clean and repair shoes gitu, dan dia udah kerja dari tahun sembilan delapan. Dia lebih paham perawatan apa yang pas buat berbagai bahan sepatu, dibandingkan shoes care yang bayarnya mahal. Jadi aku sering bawa sepatu ke sana buat dibersihkan."
"Pantas aja sepatunya bisa se-glowing itu. Dirawat oleh ahli. Ah... ternyata ini, parfum fenomenal."
"Apalagi itu parfum fenomenal?" Dia menyerahkan botol kaca itu ke gue. Kayaknya Shafira punya berbagai jenis panggilan terhadap barang-barang yang gue pake.
"Bu Rina menjuluki kamu sebagai parfum berjalan, karena lift selalu wangi kalau kamu yang udah pake."
"Selain sepatu glowing, parfum fenomenal, parfum berjalan, julukan apalagi yang aku dapatkan di kantor tapi aku nggak tahu?" Shafira diam seperti memikirkan sesuatu, sedetik kemudian dia tersenyum kecil tanpa memberitahukannya ke gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHA ✔
SpiritualTakdir tuh nggak kayak bisnis yang perencanaannya selalu lurus dan runut. Akan ada hambatan-hambatan, masalah, atau bahkan kegagalan. Oleh sebab itu perlu ada yang berperan sebagai problem solver. Wujudnya bisa berbentuk pemikiran, ide baru, prinsip...