Alhamdulillah, Aidah berhasil diamankan oleh Aisyah dan Ustazah Hani. Walau sudah aman, namun seluruh warga mengikuti mereka dari belakang. Di depan kontrakan, sudah banyak warga yang berkerumun. Mereka seperti ingin melanjutkan pem-bully-an tersebut.
"Aidah, kamu ganti baju dulu ya. Kamu bawa baju banyak kan ya? Mba sama Ustazah Hani pinjam dulu ya. Nanti kami kembalikan."
Menunggu Aidah mengganti pakaiannya. Aisyah menuju dapur membuat teh hangat untuk Aidah. Sedangkan Ustazah Hani, mengeluarkan lauk dari tas kain yang sudah dibawa dari pesantren untuk Aidah sarapan. Ketika mereka sedang menyiapkan sarapan, suara warga pun masih jelas terdengar.
Mereka benar-benar menginginkan Aidah pergi dari desa tersebut. Aisyah pun tak tahan melihat kelakuan warga. Ia sampai berbalik arah dan berjalan cepat keluar rumah. Namun, Ustazah Hani menarik tangan Aisyah seraya menahannya pergi.
"Emosi tidak akan menyelesaikan masalah. Biarkan saja mereka seperti itu. Nanti juga lelah sendiri, Mba. Yang penting kita aman di sini."
"Tapi mulut mereka itu loh yang ...."
"Iya, saya paham. Kita pikirkan masalah itu baik-baik setelah sarapan ya. Biarkan saja mereka di luar selagi tidak berbuat yang tidak-tidak."
Aisyah pun akhirnya menurunkan emosinya. Aidah yang sedang ada di kamarnya, mendengar percakapan Kakaknya dan Ustazah Hani. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding. Butiran sendu pun melengkapi perasaan Aidah pagi itu.
Hari pertama yang menyakitkan dan menyesakkan dada. Kesedihannya tumpah ruah dengan mulut yang ditutup oleh tangannya. Aidah tak ingin kesedihannya didengar oleh Kakak dan Ustazah Hani.
Aidah pun melangkah dan duduk di kasurnya. Ia scroll linimasa Instagram-nya dan melihat sudah lebih dari 900.000 komentar di postingan terakhirnya. Aidah pun mendekatkan jari telunjuknya ke layar dengan gemetar. Ketika di klik, Aidah melihat betapa banyak yang membencinya di media sosial.
Dasar perempuan murahan.
Dia sudah main sama laki-laki berapa kali ya.
Luarnya aja malaikat, dalamnya kayak iblis.
Dia kan cantik, wajarlah memanfaatkan kecantikannya.
Denger-denger, laki-laki yang pernah tidur sama dia itu sudah punya istri loh.
Di sebelah ada pelakor, di sini ternyata pelakornya lebih parah genks.
Ini hamil yang ke berapa Bu Aidah? #eh
Suaminya yang sudah meninggal, pasti kecewa melihat kelakuan istrinya begini.
Bapaknya pasti malu punya anak begini.
Enggak pantes jadi anak yang punya pesantren.
Udah, akuin aja. Enggak usah sok suci.
Matanya semakin memerah. Tangisnya pun semakin tumpah ruah. Kesedihannya sudah tidak bisa ia sembunyikan lagi. Aidah menangis sekeras-kerasnya. Ia membuang handphone tersebut ke lantai. Semua komentar itu seakan berdengung di telinganya. Satu per satu semua hinaan tersebut masuk ke dalam pikirannya. Aidah menutup telinganya rapat-rapat. Namun, komentar itu seakan masih terus berdatangan dan berteriak kepadanya.
"Berhenti!" teriak Aidah dengan kerasnya.
Aisyah dan Ustazah Hani yang mendengar teriakan Aidah, langsung menggedor-gedor pintu. Namun, Aidah tidak mau membukakan pintunya. Warga di luar, yang awalnya berisik karena protes, seketika diam mendengar teriakan Aidah yang ada di dalam kontrakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)
Подростковая литератураSemuanya duduk di ruang tamu. Tak ada yang berani berkata ketika Kyai Rahmat sudah berbicara. Hening. Malam hari yang sangat bergejolak. Aidah duduk di hadapan Umi dan Abinya. Kepalanya tertunduk tak berani memandang kedua orang tuanya. Sedangkan, A...