Aidah sedang terbaring lemas di ranjang pasien. Bibirnya masih sedikit putih. Dengan penuh kasih sayang, Aisyah menyuapi bubur agar Aidah bisa segera pulih.
"Umi sama Abi ke mana Mba?" tanya Aidah.
"Lagi keluar sebentar, kenapa? Mau Mba panggilin?"
"Enggak usah."
Di koridor, Umi menarik tangan Kyai Rahmat sambil berjalan.
"Mau ke mana sih, Mi."
Umi ingin mengajak Kyai Rahmat untuk mengobrol empat mata. Umi pun menarik tangan Kyai Rahmat sampai pada musala rumah sakit yang biasanya selalu ada di ujung koridor tiap lantai.
"Kenapa sih, Mi tarik-tarik sampe ke sini?"
"Bi, Aidah harus dibawa ke rumah ya. Kasihan dia, kalau nanti merawat anaknya sendirian di kontrakkan," pinta Umi dengan nada sedikit berbisik.
Namun, Kyai Rahmat tidak merespons permintaan istrinya itu. Ia hanya diam, menatap langit-langit, dan menarik napas dalam-dalam, yang kemudian dikeluarkannya perlahan. Umi sudah kenal watak suaminya. Ia tahu, ketika suaminya tidak merespons, itu tanda ia tidak setuju dengan permintaan Umi.
"Bi, pokoknya Umi enggak mau tahu. Pokoknya, Aidah harus dibawa pulang ke rumah.Titik!" tambah Umi sambil berlalu menuju ruangan Aidah istirahat.
***
Beberapa menit setelah itu, Kyai baru saja masuk ke dalam ruangan tempat Aidah dan bayinya berada. Ia berjalan melihat seorang bayi laki-laki yang tertidur pulas. Sesekali bayi itu menggeliat dan mengeluarkan sedikit lidah kecilmya. Warna kulitnya masih merah. Sesekali ia tersenyum dalam tidurnya.
Melihat cucunya yang sedang tertidur pulas, Kyai sampai haru menitikkan air mata. Namun, ia sudah menyekanya sebelum butiran sendu itu jatuh ke pipinya. Kyai kembali menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Hingga saat itulah,
"Aidah ... pu-pulang ...." ucap Kyai dengan suara pelan.
Semuanya memerhatikan Kyai. Karena suaranya sedikit tidak jelas terdengar.
"Ada apa Bi?" tanya Aidah.
Kyai pun kembali menghela napasnya berat.
"Habis ini, kamu pulang ke rumah."
Umi yang mendengar hal itu dari suaminya, sangat haru dan langsung beranjak dari tempat duduknya dan mendekap suaminya erat-erat.
"Syukron ya, Abi," ucap Umi dalam dekapan.
"Aidah, kamu sudah kasih nama?" tanya Ilham yang sedang berdiri di belakang istrinya yang sedang menyuapi Aidah.
"Sudah. Namanya, Muhammad Yahya Ayub Sulaiman."
"Maa Syaa Allah. Enggak sekali 21 nama Nabi lagi dimasukkin, Ai," ledek Ilham.
"Hus. Itu nama pemberian seseorang loh," tambah Aisyah.
"Siapa?"
"Kepo deh, Mas."
"Loh, kok main sembunyi-sembunyian? Tapi, itu kolaborasi nama yang bagus. Semoga, semua sifat baik dari nabi-nabi itu ada dalam diri anak kamu ya, Aidah."
***
Sebagai ucapan syukur atas kelahiran cucu pertamanya, Umi membagikan makanan ke warga sekitar rumahnya. Bahkan, tak pilih kasih, Umi pun membagikan makanannya kepada wartawan yang stand by di depan rumahnya.
Hebatnya Umi, selama pemberitaan terjadi, Umi tak pernah lupa membagikan makan siang dan minum kepada wartawan. Bukan sebagai sogokan, memang begitulah kebiasaan Umi semenjak hijrah ketika SMA dahulu. Namun, wartawan masih saja memberitakan pemberitaan yang negatif tentang Aidah dan pesantren.
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)
Teen FictionSemuanya duduk di ruang tamu. Tak ada yang berani berkata ketika Kyai Rahmat sudah berbicara. Hening. Malam hari yang sangat bergejolak. Aidah duduk di hadapan Umi dan Abinya. Kepalanya tertunduk tak berani memandang kedua orang tuanya. Sedangkan, A...