Sudah 14 tahun semenjak kelahiran Yahya. Berkat Pak Ibrahim, wartawan sudah tidak banyak yang memberitakan hal-hal buruk tentang pesantren lagi. Pak Ibrahim dan bawahannya mencoba mengalihkan perhatian wartawan ke arah lain yang lebih penting dan bermanfaat. Sehingga, pemberitaan pesantren bisa tenggelam seiring berjalannya waktu.
Namun, berita itu sudah sangat melekat diingatan masyarakat. Sehingga, walau sudah 14 tahun sejak kejadian itu, sampai sekarang pun, masih banyak yang pikir-pikir dulu sebelum memasukkan anaknya ke Pesantren Darul Falah.
Sekalinya ada anak yang mau masuk pesantren, rata-rata anak yang bangor, susah diatur, habis di DO dari sekolahnya karena melakukan kekerasan, dan sebagainya.
Namun, itu tak menjadi hal yang menakutkan bagi seluruh Ustaz dan Ustazah pesantren. Karena yang namanya anak didik ya seperti itu. Guru terbaik adalah mereka yang bisa mengubah keadaan anak didiknya menjadi 180 derajat lebih baik dari sebelumnya. Itu akan menjadi tantangan tersendiri bagi Pesantren Darul Falah.
Seluruh pesantren sepakat, tidak akan membicarakan masalah Aidah dan masa lalu pesantren yang kelam itu. Agar psikologi Yahya dan Aidah bisa terjaga. Terlebih, itu aib pesantren yang tidak sepatutnya untuk dibahas kembali. Bahkan, orang tua murid yang mendaftarkan anaknya di pesantren pun, diminta untuk memberitahu anaknya yang tahu tentang berita tersebut, agar tidak membahasnya selama di pesantren. Apalagi sampai menjadikan bahan tersebut untuk meledek Yahya. Semua berita di masa lalu itu, harus dibuat seperti angin lalu yang akan pergi terhempas di tempat yang tak tentu arah.
"Balikin enggak peci aku," ucap Yahya pada Abidin.
Yahya berusaha mengambil pecinya dari Abidin. Namun, Abidin selalu berhasil mengecoh Yahya.
"Mau peci ini? Nih ambil," ucap Abidin yang melemparkan peci Yahya ke atas pohon.
Benar saja. Peci putih Yahya tersangkut di batang pohon yang cukup tinggi. Yahya tidak terima. Ia memicingkan matanya dan mengerutkan dahinya. Ia menatap Abidin tajam-tajam. Ia berteriak keras dan berlari cepat mendekati Abidin. Ekspresinya itu membuat Abidin takut. Ia pun memejamkan mata takut dipukul oleh Yahya.
Namun, ia salah sangka. Yahya tidak ingin memukulnya. Justru ia mengambil peci Abidin yang ada di kepalanya.
Di koridor sekolah, Yahya berlari dengan sangat cepat. Ia menggenggam erat topi Abidin. Ia ingin sekali melakukan hal sama seperti Abidin yang memperlakukan pecinya seperti itu.
"Tangan dibalas tangan. Peci dibalas peci, wee ...." teriak Yahya sambil berlari.
Hingga ketika ada pertigaan, Yahya berbelok ke kanan. Namun ia menabrak seseorang. Ternyata Ustaz Badrul yang sedang membawa beberapa berkas. Semua berkas itu pun berantakan di lantai akibat ditabrak Yahya.
"Yahya, kamu tahu peraturan pesantren kan? Tidak boleh berlari-larian di koridor," ucap Ustaz Badrul.
"Tapi Ustaz tadi Ab- ...."
"Ustaz tidak mau mendengar alasan. Kesalahan tetap kesalahan. Bisa dimengerti?"
"Maaf Ustaz." Yahya pun melipat tangannya ke belakang dan tertunduk.
Ustaz Badrul pun menggelengkan kepalanya dan menurunkan badan. Ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di lantai. Namun, Yahya masih dalam posisinya yang masih berdiri dan menunduk.
Dari belakang, Abidin melihat Yahya dan Ustaz Badrul. Ia pun menyunggingkan salah satu sudut bibirnya ke atas.
"Ustaz Badrul, sini aku bantu." Abidin menawarkan diri.
"Yahya, kamu lupa sama pesan Ustaz Zakaria kemarin? Jadi muslim tuh harus saling tolong-menolong. Ustaz Badrul kan harus dibantu. Kamu malah diam," ucap Abidin pada Yahya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)
Novela JuvenilSemuanya duduk di ruang tamu. Tak ada yang berani berkata ketika Kyai Rahmat sudah berbicara. Hening. Malam hari yang sangat bergejolak. Aidah duduk di hadapan Umi dan Abinya. Kepalanya tertunduk tak berani memandang kedua orang tuanya. Sedangkan, A...