Yahya sedang menuruni anak tangga. Ia berjalan dengan mata yang fokus pada buku bacaannya. Yahya sedang membaca sebuah buku motivasi karya Mahestha Rastha Andaara, judulnya "Untukmu Para Pejuang Mimpi."
Membaca isi buku tersebut, benar-benar menambah gairah belajar Yahya semakin menggelora. Ia jadi semakin semangat untuk membahagiakan uminya dan pesantren. Namun, belum ia menginjak anak tangga terakhir, langkahnya terhenti ketika mendengar suara obrolan Ustaz Badrul dan Ustaz lainnya dari balik dinding.
"Gimana ya cara naikkin nilai Abidin?"
"Kenapa? Nilai dia turun drastis ya? Sama, di pelajaran ane juga begitu," ucap Ustaz Badrul.
"Apa dia kita buat tinggal kelas saja ya?"
"Susah sih. Apalagi masih kelas tujuh. Coba kita konsultasikan ini ke wali kelasnya dulu ya."
Mendengar berita tersebut, Yahya jadi iba dengan Abidin. Yahya pun langsung menutup bukunya rapat-rapat dan berlari ke kelas. Ia punya ide bagus.
Ketika di kelas, ia melihat Abidin dan Ismail yang sedang bermain kucing-kucingan. Yahya diam sejenak di muka pintu. Ia menembak pandangannya pada satu titik. Ia pun berlari dan mengambil benda tersebut.
Ya. Lagi dan lagi. Yahya mengambil peci Abidin. Sedikit terlambat, Abidin baru menyadari setelah melihat Yahya yang sudah berdiri di muka pintu sambil mengangkat pecinya tinggi-tinggi sambil menjulurkan lidahnya.
"Yahya! Balikin enggak!" teriak Abidin.
"Ambil sini kalo bisa, we ...."
Sekali lagi. Mereka berdua berlarian kembali di koridor. Bahkan sekali lagi, Ustaz Badrul melihat kedua anak ini berlarian di koridor.
"Yahya! Abidin! Jangan lari di koridor lagi!" teriak Ustaz Badrul.
Sekarang siapa yang salah? Yahya? Atau Abidin? Ah, enggak tahulah.
Mereka pun berhenti di tanah lapang yang tidak terlalu luas. Yahya menyembunyikan peci Abidin di balik tubuhnya.
"Kamu mau apa sih! Balikin cepat!"
"Enak aja. Tidak semudah itu ferguso."
Abidin pun lelah. Karena ia memiliki postur tubuh yang sedikit gemuk.
"Ya sudah. Mau kamu apa? Mau peci aku tersangkut di pohon kayak punya kamu?"
"Bukan."
"Terus?"
"Kamu harus bagusin nilai kamu dulu. Baru aku balikin pecinya."
Mereka sedang berdebat di samping masjid pesantren. Ustaz Zakaria yang baru saja selesai salat dhuha, mendengar perdebatan mereka.
"Apaan sih. Enggak jelas banget. Balikin sini peci aku!"
"
Ya sudah kalau enggak mau. Aku enggak bakal balikin pecinya. Kamu kan emang enggak bisa ngalahin aku di semua pelajaran," pancing Yahya.
"Siapa bilang! Aku bisa ngalahin kamu."
"Ya sudah buktikan pas Ujian Tengah Semester besok. Gimana?"
"Oke! Siapa takut!"
"Ya sudah, sana pergi. Pecinya kan aku sita dulu sampai nilai kamu bagus."
Karena Abidin sudah menyetujui perjanjian tersebut. Ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mendengar perdebatan mereka, Ustaz Zakaria hanya tersenyum sendiri saja di balik tembok. Beberapa ustazah yang juga baru selesai salat dhuha, melihat Ustaz Zakaria tertawa sendiri. Ustaz Zakaria pun jadi salah tingkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)
Novela JuvenilSemuanya duduk di ruang tamu. Tak ada yang berani berkata ketika Kyai Rahmat sudah berbicara. Hening. Malam hari yang sangat bergejolak. Aidah duduk di hadapan Umi dan Abinya. Kepalanya tertunduk tak berani memandang kedua orang tuanya. Sedangkan, A...