21: Menemukan Bintang

13 10 0
                                    

Tepat seusai aku latihan voli dan Iona pulang bimbel, kami mencari Roos. Aku membawa Iona ke tempat-tempat di mana aku dan Roos pernah bertemu (sialnya tempat itu lumayan banyak) serta menceritakan kronologi bagaimana aku bisa bertemu dengannya. Aku juga menceritakannya saat aku membawa Roos ke rumahku dalam keadaan terluka. Dari semua tempat yang telah kami datangi, tidak ada tanda kehadiran Roos. Hanya tinggal satu tempat lagi yang akan kami datangi. Bila di tempat itu tidak ada Roos juga, aku tidak tahu lagi mesti membawa Iona ke mana.

"Sekarang kita mau ke mana?" tanya Iona. Aku melihat wajah lelahnya dari kaca spion motorku. Raut kekhawatirannya tak dapat disembunyikan. Mungkin aku juga akan memasang ekspresi seperti itu-atau lebih buruk-bila Iona menghilang tanpa jejak begitu saja. Maka dari itu, aku berusaha sebisaku untuk membantunya menemukan Roos. Supaya ia menemukan kembali bahagianya.

"Ke rumah Roos," jawabku.

Mestinya dengan hilangnya Roos aku merasa bahagia. Ini adalah kesempatan emasku untuk mendekati Iona sepuasnya. Tapi, aku tidak bisa. Aku justru membantunya mencari Roos. Karena sungguh, aku benci melihat Iona sedih. Apapun akan aku lakukan untuk membuatnya bahagia. Meskipun itu berarti membawa Roos kembali ke sisi Iona dan melukai perasanku sendiri. Tapi, siapa peduli? Rasa sakitku melihat Iona bersama Roos tidak sebanding dengan rasa sakit melihat Iona kehilangan Roos.

Kami telah tiba di rumah Roos. Rumahnya masih tampak sama dengan yang aku lihat tempo hari saat Kirei mengajakku ke sini. Cat yang sudah pudar, dinding yang mengelupas, genting yang bergeser, serta atap yang berlubang. Kebun bunga yang menjadi satu-satunya pemandangan indah di rumahnya tidak secantik dulu. Banyak bunga yang layu serta tanah yang kering.

"Berarti Roos gak pernah pulang ke sini lagi." Iona memetik setangkai mawar merah yang telah mati. "Roos gak mungkin ngebiarin tanamannya kering begini." Iona menghela napas.

"Gue gak tau lagi di mana harus nyari Roos," ucapku sedikit merasa bersalah karena satu-satunya tempat yang menjadi harapan terakhir kami pun tidak ada Roos di dalamnya.

"Kita pulang aja," ajak Iona, berjalan meninggalkan halaman depan rumah Roos.

Roos sialan. Sebenarnya di mana kau?! Rasa ingin menonjok Roos meningkat. Sekali tidak cukup. Aku harus menonjoknya tiga kali. Tunggu kau, Roos.

》《

Mesin motor kumatikan begitu sampai di depan rumah Iona. Lampu depan rumahnya masih menyala begitu pun lampu dalam rumahnya masih menyala yang terliha dari jendela.

"Ayo mampir ke rumah gue dulu," ajak Iona.

Aku agak terkesiap mendengar ajakannya. Sungguh? Haruskah aku terima atau tolak? Aku tidak membawa apa-apa untuk orang tua Iona. Lagi pula, apa aku pantas? Apakah Roos sudah pernah diajak ke sini? Tentu saja sudah. Ah, mungkin aku tolak saja mungkin juga Iona cuma basa-basi saja.

"Gue gak bisa-"

"Iona! Itu temenmu ajak masuk!"

Kami berdua sama-sama menoleh ke pintu rumah Iona. Ada ibunya di sana.

"Iya, Mah!" sahut Iona. "Tuh, mamah gue udah ngajak. Lo belum makan, 'kan, abis latian tadi? Mamah gue masak banyak. Anggep aja ucapan terima kasih gue karena lo udah nemenin gue kelilng nyari Roos."

Aku tidak punya alasan untuk menolak. Memang benar, aku belum makan sejak pulang latihan karena langsung pergi menjemput Iona. Aku di rumah sendiri, kakakku tidak akan pulang selama dua minggu ke depan. Baiklah, aku tidak boleh menolak rejeki ini. Siapa tahu ini pertama dan terakhir kali aku datang ke rumah Iona, aku tidak boleh menyia-nyiakannya.

Tanganku berkeringat, aku merasa gugup. Walaupun aku datang ke rumah Iona sebagai teman, tapi tetap saja aku tidak tenang. Bayangan akan bagaimana reaksi orang tua Iona terhadapku, muncul di otakku. Bagaimana kalau mereka tidak suka? Bagaimana kalau mereka merasa aku tidak pantas menjadi teman Iona? Astaga, jantungku berdegup semakin cepat semakin aku mencapai pintu rumah Iona.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang