Penjara bawah tanah itu cukup lembab dan dingin. Aesther mengeratkan jubah lusuh yang melingkupi tubuhnya, berharap ia dapat mengurangi rasa dingin meski hanya sedikit. Ia juga tak berhenti menggosokkan kedua telapak tangan serta meniupnya.
"Apa ini akhirnya?"
Ia sandarkan kepala pada dinding penjara, mencoba memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Duke Hailstorm akan menghabisinya karena menyusup seenaknya? Atau sang duke akan menyerahkan dirinya ke istana? Yang jelas kemungkinan terburuk dari keduanya adalah Aesther akan kehilangan nyawanya.
Klang...
Suara jeruji besi yang dipukul membuatnya terkejut. Suara itu beras dari sel disebelahnya. Penghuni di sel sebelahnya sepertinya tengah merasa tidak nyaman hingga tiba-tiba memukul jeruji dengan sekuat itu.
"Dasar anak bodoh tak tahu terima kasih."
Suara pria yang cukup berat terdengar dari sel sebelah kanannya. Aesther mengerutkan dahinya ketika mendengar suara itu, namun ia tak melakukan apapun. Ia memilih diam saja.
"Hei, kau, yang berada di sel sebelahku."
Aesther masih diam dan tak mengatakan apapun.
"Asal kau tau, isi penjara ini hanya kita berdua. Dan jawablah jika seseorang mengajakmu berbicara!"
"... Ya."
"Bisakah kau beritahu, apa yang terjadi di luar sana?"
Aesther mengerutkan dahi. Apa maksudnya dengan keadaan di luar? Musim? Keadaan politik? Atau hal lain?
"Kacau." Ucapnya singkat. Toh jawabannya memang cukup menggambarkan keadaan Valestia saat ini. Suasana politik yang tidak kondusif, cuaca yang selalu berubah secara ekstrem, dan penduduk yang menderita akibat keduanya. Kata kacau cukup untuk menggambarkan ketiganya.
Sebuah helaan terdengar dari sel disebelahnya. Namun tak lama setelahnya helaan nafas itu berganti dengan tawa menyeramkan. Suara tawa itu sangat keras dan bergema pada lorong penjara yang sunyi. Aesther merasakan bulu kuduknya merinding, ia merasa ada kekuatan tak kasat mata yang membuat dirinya bergetar ketakutan. Sepertinya pria tua disebelahnya bukan orang biasa.
"Baiklah terima kasih karena kau telah memberitahuku."
"Tentu."
Tak ada jawaban setelahnya. Maka ia memilih untuk diam. Tak ada bagian dari dirinya yang ingin melanjutkan perbincangan dengan tetangga selnya. Ia lebih memilih memikirkan peluang agar dirinya bisa keluar dari penjara. Melihat reaksi dari penjaga tadi, ia tak yakin bahwa dirinya dapat menemui duke semudah itu. Bisa saja para penjaga itu memilih menyerahkan dirinya secara langsung kepada istana daripada membawa dirinya ke hadapan Duke. Lehernya memiliki harga yang sangat mahal karena pangeran kedua sepertinya lebih memilih membuat dirinya menjadi tikus yang diburu oleh banyak pemangsa sekaligus. Membuat hidupnya lebih menderita hingga merasa bahwa kematian bukanlah hal yang buruk. Namun ia tak ingin menyerah. Ia tak bisa menyerah mengingat banyak nyawa yang telah berkorban hingga dirinya masih hidup hingga detik ini.
Suara derap kaki membuat Aesther tersadar dari lamunannya. Sepertinya dua atau tiga orang berjalan menuju selnya. Ia mencengkeram jubahnya erat. Sedangkan tangan kanannya bergerak mengambil pecahan batu dari lantai penjara. Seorang pemuda muncul dari kegelapan bersama dua orang lainnya, ia dapat kenali keduanya sebagai penjaga yang menangkapnya dan menyeretnya ke penjara. Pemuda itu memberikan kode agar kedua penjaga itu membuka sel penjara tempat Aesther berada. Mereka bergerak cepat segera mengeluarkan kunci dan melepaskan gembok yang terpasang. Pintu sel terbuka dengan suara khas decitan logam tua.
Ia menggenggam batu ditangannya dengan sangat erat. Mencoba mengamati celah yang memungkinkan dirinya untuk kabur dari sana. Namun ketiga orang dihadapannya memblokir jalan keluar dari sel. Mustahil baginya untuk menerobos keluar. Mereka memiliki pedang dan pisau pendek, lorong penjara juga terlalu sempit tanpa ada tempat berlindung. Detik dikala Aesther berlari mereka pasti akan dengan mudah membuatnya jatuh dengan pedang ataupun pisau pendek. Jika Aesther berhasil melumpuhkan seseorang, dua orang lainnya akan segera membekuknya. Mustahil melumpuhkan ketiganya secara langsung mengingat ia tak miliki senjata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Crown (Chanjin)✔️
Fiksi SejarahSamuel tak pernah inginkan tahta. Ia hanya ingin hidup tenang seperti saat dirinya masih hidup di luar istana bersama ibunya yang merupakan rakyat biasa. Namun darah kerajaan yang mengalir dalam tubuhnya membuat dirinya tetap jadi ancaman bagi tahta...