10. Matthew

70 17 0
                                    

Cerita ini hanya kiasan dan fiksi serta tidak sepenuhnya sesuai dengan kehidupan asli sang tokoh

Jadi berbijaklah dalam membaca dan memberikan komentar, terima kasih 🙏

-----

-----

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-----

"Matthew, u okay?" Tanya sang ayah begitu melihat anaknya yang berada di samping bangku terlihat lebih pendiam, wajahnya begitu murung tak seperti biasanya. Mereka berdua sedang menaiki mobil melintasi jalanan panjang yang membelah angin dan akan menuju ke suatu tempat.

"I'm fine, dad. Just f*cking tired for something" Jawabnya lalu mengela napas panjang, ia masih kesal memikirkan mereka akan mendatangi sebuah rumah yang amat dibencinya.

Ya, rumah dengan penghuni yang sejujurnya sudah tak menerima lagi keberadaan mereka berdua. Rumah keluarga nenek dari sang ibu yang telah tiada.

Mereka tidak menerima Matthew dan sang ayah dikarenakan keduanya dianggap sebagai pembawa sial bagi rumah tersebut.

Sang ayah diam-diam tersenyum dibalik kerutan menuanya. "Coba kau lihat ke patung yang ada diujung sana" Tunjuknya pada sebuah patung pahatan dua kuda yang hendak berlari diatas monumen di pinggir jalan.

Matthew yang sedang melamun memandangi pemandangan luar seketika melirik kedepan, ke patung yang dimaksudkan sang ayah. Terlihat biasa bahkan besinya sudah usang, tak ada istimewanya sama sekali. "Apa bagusnya?" Tanyanya sembari menatap sang ayah yang masih tersenyum.

"Ada cerita dibalik patung itu, kau ingin mendengarnya?"

Matthew yang memang pada dasarnya sangat amat menyukai cerita langsung mengangguk antusias. Terutama patung yang dilihatnya tadi tampak begitu tua pastilah sejarah dan kenangan didalamnya sangatlah banyak.

"Dulu, patungnya baru saja selesai dibuat dan tepatnya disekitar patung itu, tempat dimana ayah dan ibu resmi berpacaran. Maka dari itu ayah ingat sekali tanggalnya, padahal biasanya laki-laki tidak akan mau mengingat hal yang menurutnya tak begitu penting. Begitulah kata ibumu" Sang ayah terkekeh mengingat betapa terkejutnya wajah wanita tercintanya saat mengetahui pasangannya dapat mengingat dengan baik tanggal peresmian mereka dahulu.

Matthew masih termenung, mendengarkan dengan seksama apa yang ingin dikatakan beliau selanjutnya.

Senyuman ayahnya perlahan memudar kala mengingat suatu hal yang lain. "Tapi kenangan baik itu tak berlangsung lama disaat tempat tersebut menjadi tempat dengan kenangan buruk"

Matthew mengernyitkan dahinya, kenangan buruk?

"Beberapa hari setelahnya, ayah harus kehilangan adik perempuan ayah disana akibat kecelakaan tabrak lari" Beliau tak menangis, namun raut wajahnya tercetak jelas bahwa dirinya sangat merindukan sang adik. Dan kini pula ia sudah kehilangan kedua wanita yang teramat disayanginya. Mungkin itulah sebab mengapa ia susah mengeluarkan kembali air matanya, kantungnya sudah begitu kering.

"Kau tau kenapa dua kuda tadi berwarna hitam dan putih?" Matthew menggeleng. "Seperti kalimat yang terukir pada monumennya. Yaitu, kenangan baik dan buruk akan segera datang kemudian berlalu"

"But why, dad? I really don't understand"

"Kau harus menghargai setiap kenangan yang ada. Tidak hanya yang menyenangkan saja tetapi yang membuatmu jengkel, membuatmu kesal, bahkan membuatmu membencinya. Karena semua kenangan itu tak akan pernah terulang kembali untuk yang kedua kalinya"

"Kau mungkin tak menyadarinya sekarang, tapi kau akan merasakannya nanti setelah semua itu berlalu" Lanjut beliau dibalik senyuman yang ia turunkan kepada anak laki-lakinya ini. Sementara Matthew tampak berpikir sejenak, "Bagaimana cara untuk menghargainya disaat kita juga tak dihargai oleh kenangan itu, dad?"

"Memaafkan, itulah kuncinya... mau beli es krim?" Matthew mengangguk kala sang ayah menawarkan membeli es krim kesukaannya yang hanya ada di sepanjang jalan mendekati rumah. "Kay, let's go!"

"Whiskey ice cream, i'm coming!" Mereka tertawa bersama setelah sorakan keduanya begitu bersemangat hanya untuk segelintir es krim.

-----

Saat bulan berlalu, angin mulai bergerak menjauh

Sejak kapan ini menjadi begitu dingin?

Aku pikir aku harus melupakannya sekarang

Meski aku mencoba, aku tahu itu tak akan bisa

Kamu adalah segalanya

Langkah kakiku terus bergulir

Bergerak diatas lembaran kertas, hatiku dipenuhi oleh coretan tentang diriku

Aku memiliki permintaan

Tak membencimu (diri sendiri) adalah keputusan terbaik untuk kita

Aku bahkan tak bisa memberitahumu jika itu sangat menyakitkan bagiku

Aku menderita sendirian

Aku tahu segalanya karena kau adalah napasku

Jangan menyesal, itu akan berlalu pada waktunya

- Yawn by Seventeen

Our Life Is HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang