Cerita ini hanya kiasan dan fiksi serta tidak sepenuhnya sesuai dengan kehidupan asli sang tokoh
Jadi berbijaklah dalam membaca dan memberikan komentar, terima kasih 🙏
-----
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-----
Sering kali hidup ini tak pernah benar-benar sesuai kemauan kita, sesuai yang kita harapkan.
Jatuh dan bangun tentu saja akan selalu kita dapatkan mau dalam fase usia apapun.
Fase saat kita sedang berada di puncak karir yang telah dibangun sejak nol lalu tiba-tiba saja mengalami kemerosotan dan terjatuh? Fase saat kita sudah berani membuat keputusan untuk menikah dan memiliki keluarga setelahnya kandas begitu saja di meja hijau? Fase dimana kau semakin tidak yakin akan dirimu sendiri yang tak bisa bersikap selayaknya orang dewasa pada umumnya?
Semua fase itu tentu saja akan menjadi masa-masa yang dapat terlewati dengan baik. Jadi, jadikanlah fase tersebut sebagai sebuah pengalaman dalam hidupmu, bukan sebagai penghancur masa depanmu.
-----
"Ji, kau masih sadar?" Tanya salah satu sahabat Jiwoong yang sudah terlihat khawatir menyadari temannya satu itu mulai dalam keadaan seperti mabuk berat padahal baru saja meneguk tiga shot dari cangkir kecil berisikan soju akibat kalah dari permainan yang mereka buat. Toleransi alkoholnya tak sebaik itu rupanya.
"Aku baik... hik! Aku rasanya... menyedihkan sekali ya?" Ucapnya entah kepada mereka atau kepada awang-awang bayangan dipikirannya. Sementara kedua sahabatnya itu memilih diam tak melanjutkan permainan mereka yang sempat tertunda. Mereka sudah terlalu kasihan melihat Jiwoong dalam keadaan mabuk seakan hidupnya seperti runtuh saat ini juga.
"Sudah akan... Hik! Di keluarkan dari pekerjaan... istri memintaku- hik! Bercerai... hiks... belum lag- hik! Anak-anak masih kecil... hiks..." Tutur Jiwoong panjang lebar, mengabaikan cegukannya efek dari meminum alkohol beberapa menit yang lalu. Bahkan tanpa disadari ia sudah menangis bak anak kecil tanpa rengekan, sangat deras hingga kedua matanya sembab dan hidungnya memerah, tak lupa juga pipi memerah akibat pengaruh alkohol.
Tak ada satupun dari keduanya yang menanggapi perkataan barusan. Bukan karena tidak peduli, melainkan turut prihatin dengan kehidupan paruh baya itu yang tak mudah untuk dilalui.
Dalam pikiran, membayangkan jika keluar dari pekerjaan mereka saja sudah terasa begitu mengenaskan di negara yang sulit sekali mendapatkan pekerjaan ini. Mereka tidak ingin nasibnya akan sama seperti orang-orang gelandangan yang berakhir menetap dipinggir stasiun kereta bawah tanah, menetap di lorong-lorong jalanan atau bahkan menetap dibawah jembatan kereta.
Mereka berdua sebenarnya ingin membantu, namun kehidupan keduanya saja juga tidak sebagus itu. Mereka juga hidup serba pas-pasan, apalagi mereka semua juga sudah memiliki keluarga masing-masing yang harus dinafkahi.
"Aku rasanya- hik! Benar-benar membenci diriku! Membenci karena terlalu lemah- hik! Tidak bisa berbuat apa-apa... hiks... aku adalah pria yang bodoh, hahaha, hiks... sangat bodoh..." Jiwoong memukul dadanya dan kepalanya sendiri dengan keras, merutuki dan menyesali apa yang sudah terjadi kepadanya. Jika waktu berputar ke masa lalu, dapatkah ia memiliki satu kesempatan baru untuk memperbaiki segalanya? Jika iya, maka dirinya akan sangat berharap apabila diperbolehkan kembali bahkan dalam resiko apapun. Selagi ia dapat berguna tidak dengan dirinya yang sekarang, pikirnya.
Beruntung kedua sahabatnya sigap menahan lengan kekar Jiwoong yang mulai memberontak minta dilepaskan, ia masih ingin menuntaskan kekesalannya dengan pukulan serta rutukan yang ditujukan untuknya sendiri.
"Kim Jiwoong, sadarlah! Tak ada gunanya kau menyesali semua yang terjadi, semua itu anggap saja sudah berlalu!" Salah satu dari mereka pada akhirnya berucap, "Setidaknya kau masih dikasih kesempatan untuk memperbaiki!" Bentaknya agar Jiwoong tersadar dari igauan mengenaskannya.
"Apanya! Hik! Semua sudah hancur, sudah berantakan! Apanya- hik! Yang bisa diperbaiki lagi!" Bentakan Jiwoong juga tak kalah santainya dibandingkan sang sahabat, membuat atensi seluruh meja di bar mini ini kini tertuju kearah meja mereka yang terletak di bagian pojok.
"Kau belum benar-benar dikeluarkan dari pekerjaan, kau dan istrimu juga belum sepenuhnya bercerai sah dimeja persidangan, Jiwoong! Sadarlah, kau masih ada harapan!" Sewot sahabatnya itu ikut termakan pancingan emosinya.
Kata-katanya membuat Jiwoong seribu kali terdiam dan tersadar. Benar, untuk apa dia menggila dan merisau sekarang disaat bahkan ia belum benar-benar mencicipi di tahap tersebut? Hanya berupa kegelisahan yang membuat otaknya bekerja menghasilkan pemikiran yang tidak-tidak.
Jiwoong yang tadinya berdiri spontan menjatuhkan dirinya lemas diatas sofa empuk bar, menangis sekencang-kencangnya bak anak kecil hingga kelelahan lalu tertidur. Setidaknya ia harus bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang masih setia kawan, jadi ia tidak ditelantarkan disana dan malah membantu mengangkutnya untuk diantarkan pulang menggunakan taksi.
-----
Tarik napas yang dalam
Sampai kedua sisi dadamu terasa sesak
Sampai mulai terasa sedikit sakit
Lalu hembuskan napasmu
Sampai kau merasa tak ada yang tersisa dalam dirimu
Tak masalah jika napasmu pendek
Sebab tak akan ada yang menyalahkanmu
Kau dapat membuat kesalahan entah kapanpun
Orang lain juga melakukannya
Katakan, "Tak apa-apa"
Meskipun hanya berupa kalimat sederhana
Saat seseorang menghela napas dengan begitu berat
Bagaimana aku bisa tau dan mengerti apa artinya (helaan napas itu)?
Helaan napasmu meski aku tak tau seberat apa bebanmu