Extra Chapter 4B

16.3K 3.4K 4.4K
                                    

DILUAR dugaan, pekerjaan gue hari ini selesai lebih awal. Entah gue memang secara nggak langsung ingin cepat pulang karena teringat akan janji membantu Shafira memasak sore ini, atau memang pekerjaan hari ini sangat-sangat Allah mudahkan. Yang harusnya pekerjaan gue beres pukul tiga, sekitar pukul satu, semuanya udah selesai. Gue dalam perjalanan pulang tepat pukul satu tiga puluh.

Awalnya gue berencana untuk mampir dulu ke Menteng mengecek soal rumah seperti hari-hari kemarin. Beberapa furniture sudah datang dan di pasang  kemarin, besok lusa sudah bisa di isi. Di samping itu, gue juga berencana mampir ke salah satu florist untuk membeli bunga buat Shafira.

Sebenarnya gue belum tahu dia sukanya apa, dipikiran gue yang ada hanya buket bunga mawar yang terkesan romantis. Daripada salah beli hadiah, mending gue telepon Pak Adam untuk menanyakan itu. Khawatir gue beli bunga, ternyata Shafira malah nggak suka bunga.

"Halo, Assalamualaikum? Hahaha... Pertama kali nih di telepon mantu," tawa renyahnya langsung terdengar. Gue menghubungi Pak Adam saat masih menyetir menuju arah tempat florist.

"Wa'alaikumussalam. Hahaha... Ayah ada-ada aja. Apa kabar? Sehat, kan, Yah?"

"Alhamdulillah, kamu sendiri sama Shafira gimana di sana? Sehat, kan, Tha? Padahal baru seminggu tapi kok rasanya udah lama banget ya. Oh iya, Ayah sama Papamu lagi mancing nih."

"Alhamdulillah, kita juga sehat. Kemarin aku sempat tumbang waktu nyampe sehari nyampe Jakarta, tapi Alhamdulillah Shafira nggak tertular sama sekali. Insyaallah aman. Lagi mancing di mana nih? Kok tiba-tiba bisa sama Papa? Pantesan Papa belum mau pulang ke Jakarta, ternyata masih asik liburan."

Sebenarnya dibalik pertanyaan itu, gue perlu memastikan tempat mereka memancing. Ada beberapa tempat pemancingan yang transaksinya mengandung gharar, hal ini dihindari dalam transaksi menurut prinsip ekonomi Islam karena banyak merugikan.

"Di danau Situ Patenggang. Hazm pengen liburan setelah acara Shafira menikah, pengen istirahat di tempat sepi katanya. Akhirnya dia ngajak stay di villa yang dekat sini. Sekalian lah, ajak Papamu mumpung masih di Bandung. Tenang aja, Insyaallah halal. Cuma bayar sewa untuk alat pancingnya aja."

Pak Adam kayaknya lebih hafal kekhawatiran di balik pertanyaan gue. Emang cuma Papa yang bisa-bisanya begitu santai ikut liburan dengan keluarga lain. Papa itu kalau lagi libur panjang, kayak tahun baru atau libur hari raya Idul Fitri, bisa tiba-tiba ikut mudik ke kampung halaman sopirnya.

Ponsel sepertinya sempat beralih tangan, karena tiba-tiba suara Papa yang terdengar. "Tha, Papa besok rencana mau pulang ke Jakarta pake kereta. Kamu bisa jemput di Gambir, nggak?"

"Jam berapa, Pa? Papa pulang sendirian naik kereta?" Gue agak cemas dengan jiwa petualangannya yang mulai kumat lagi, sedangkan dia lupa usia.

"Jam sebelas siang perkiraan sampai stasiun Gambir. Besok Papa dianter soprinya Mas Abi kok sampai naik kereta. Kamu tenang aja, di kereta kan cuma duduk, nyampe sana udah ada kamu yang jemput." Mungkin sebenarnya panggilan tersebut di loud speaker, hingga suara Pak Adam juga terdengar.

"Atau biar Hazm aja yang antar sampai Jakarta besok. Dia masih ambil cuti dua hari lagi..."

"Nggak usah repot-repot, Pak. Saya sengaja pengen naik kereta. Menikmati suasana di perjalanan, biar nggak macet juga."

"Oke, besok aku jemput jam sebelas di stasiun ya, Pa." Gue ada kerjaan sebenarnya, tapi menjemput Papa lebih penting dari pekerjaan apapun. Gue hendak mematikan telepon, sampai lupa apa tujuan gue menghubungi Pak Adam saat itu.

"Eh, astagfirullah, hampir lupa... Ada yang mau aku tanyain ke Pak Adam sebenarnya." Ponsel berpindah tangan lagi.

"Ada apa memang, Tha?"

ATHA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang