chapter 七

309 50 13
                                    

HAPPY READING

07






Sensasi arah angin yang asing. Hawa malam musim dingin New Orleans yang tiba-tiba menghangat. Siapapun pasti merasa aneh, bahkan ketika Felix hampir menginjak usia tujuh tahun, di pertengahan bulan nanti. Namun, bocah dengan surai halus itu paham, bahwa semuanya tampak sedang tidak baik-baik saja.

Kantuk masih sangat menyusahkan kelopak mata sebab jam tidur baru saja di lalui, akan tetapi anak manis itu sudah harus kembali terjaga dengan cara yang sedikit kurang manusiawi. Debuman pintu lebih dulu mengusik, sebelum lengan kecil sosok dengan piyama cokelat tua menggoyang kaki kecilnya.

Keadaan terdengar rancau, namun samar.

Sebuah boneka kelinci merah muda tetap di peluk sekuat tenaga, ketika kedua hazel gelap menggemaskan itu pada akhirnya sudah sanggup terbuka sempurna. Hal pertama yang menyapa iris sejernih mata air itu adalah kegelisahan yang mencuat dari air wajah ayahnya yang terus berkutat dengan telepon kabel.

Ibunya terus mengitip dari balik lubang pintu dengan air mata yang menggantung di pelupuk mata.

Sedangkan Felix tetap berdiri di ambang anak tangga, dengan kakak laki-lakinya—Lee Wonho—dan saling menautkan jari-jari kecil satu sama lain.

"I-ibu—" Itu hanya sekedar cicitan lirih di tengah gema dengung asing yang ada. Felix hanya merasa penasaran dan sedikit takut. Apa kedua orang tuanya baru saja bertengkar? Mengapa wajah-wajah semua orang serius sekali?

Wanita cantik dalam balutan piyama seputih awan itu menoleh pelan, setelah lebih dulu terlihat mengusap kantung mata sekilas. "Tidak apa-apa sayang, ibu di sini." Suara wanita cantik itu terdengar penuh kasih dan sayang, halus dan menenangkan. Sosok wanita cantik dengan paras teduh, dan tentunya dengan hati yang baik. Seorang ibu tiri terbaik di muka bumi, yeah—wanita cantik itu adalah ibu tiri seorang Lee Felix.

Wanita itu melangkah mendekat, dan paras penuh kegelisahan itu kian jelas menusuk kornea.

Yang semula diam, entah mengapa menjadi sedikit emosional ketika sang ibu memberi belaian halus pada ujung surai. Wonho menangis dalam diam dan penuh getar. Itu wajar, bocah itu hanyalah bocah sepuluh tahun yang tak tau apa-apa tentang semua kejadian menakutkan saat ini. Sama seperti Felix, Wonho bahkan terbangun saat sebuah suara dentuman keras terdengar menggebrak sisi balkon kamarnya.

Itu mengerikan.

"Ibu ... aku takut." Oh anak yang malang. Wonho mencicit lirih, tak melepaskan genggaman tangannya pada tangan kurus sang adik.

Kasih sayang yang telah terjalin erat, meski kenyataannya mereka bukan saudara sedarah. Namun, apakah itu penting? Hati anak-anak itu murni.

Nyonya Lee mengulas senyum pedih. "Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja."

Dan kalimat itu akan menjadi bualan terbesar, baik dalam hidup Wonho maupun Felix di kemudian hari.

DUAR! BRAK! BRAK!

Tidak, suara itu jelas tidak seharusnya dapat di katakan gambaran bahwa situasi dalam keadaan baik-baik saja.

Nyonya Lee dengan sigap memeluk kedua buah hatinya erat-erat. Wonho balas dengan mengaitkan kedua tangannya pada leher sang ibu, namun Felix tampak tak bereaksi seperti apapun. Anak manis itu mengerjap cepat, ketika kedua hazel gelapnya menyaksikan dengan jelas kepulan api besar yang membumbung dari gedung apartemen sebelah, dari balik jendela balkon.

Flower of EvilWhere stories live. Discover now