Bagian 18

1K 57 6
                                    

Wasiat Cinta

*
*

Kabar Buruk

* * *

"Mas?"

"Hemmm?"

Mas Ali menatap wajahku dengan raut tanya, sedangkan aku belum cukup berani mengatakan sesuatu.

Saat ini kami sedang sarapan pagi dengan menu nasi goreng buatan Bi Inem, karena aku sedang malas memasak, entah kenapa selama beberapa hari ini tingkat malasku meningkat, kata Mamaku itu bawaan bayi yang sedang kukandung.

"Woaahh, bisa ngalahin Kinanti yang pemalas nih anakmu, masih di perut aja udah malesan banget"

Itu ujaran Mamaku saat aku menghubungi beliau, curhat tentang tak enaknya mual dipagi hari.

"Kenapa Kinanti?" Suara Mas Ali terdengar saat aku masih tak bergeming, diam belum berani menyuarakan isi hati.

"Eemm, anu.... Kalo aku pergi boleh?" Tanyaku ragu.

"Asal jelas tujuannya aja, kamu boleh pergi" jawab Mas Ali membuatku sedikit lega.

Aku mengangguk sekali, Manikandan rangkai kata untuk Mas Ali.
"Jadi kemarin, Rendra anaknya Bu Nida yang waktu itu ulang tahun dikaffe-nya Bizar, ngundang aku buat jadi bintang tamu di acara pensi kampusnya" Ucapku menatap Mas Ali yang masih khidmat memakan nasi gorengnya.

"Dia tau nomer kamu darimana?"

Busseett, kenapa pertanyaannya kayak mau keluar konteks perijinan pergi begini?!

"Dari Abidzar, temen-temen dia suka katanya sama suara aku"

"Oohhh, jadi kamu mau ngisi acara itu buat menyombongkan suara bagus kamu itu??"

"Ini gimana maksudnya sih?? Intinya Mas ijinin atau enggak?"

Sungguh, kepalaku mendadak pening begini mendengar percakapan kami yang menurutku tidak nyambung.
Nada suaranya berubah posesif beberapa hari ini, apalagi jika menyangkut lawan jenis yang akan berinteraksi denganku, contohnya Nando, temanku sendiri.

"Terserah kamu, saya gak berhak larang kamu untuk ini" ujarnya, seolah final dari keputusan yang harus kuambil meski aku sendiri bingung untuk mengiyakannya.

"Kan Mas Ali suami aku. Sebagai istri aku harus nurut sama omongannya Mas"

"Kalo gak di ijinin saya yakin kamu gak bakalan terima. Pergi aja, asal tetap hati-hati." Ucapannya membuatku sedikit kesal, karena itu benar. Aku tidak akan menerimanya jika Mas Ali tidak mengijinkan.

"Beneran???" Tanyaku semangat dengan senyum mengembang.

"Iya. Saya akan suruh Mang Toha buat nganterin kamu" ujar Mas Ali dengan senyum tipis melihat tingkahku.

"Tapi beliaukan lagi dirumah Ibu, siapa tau lagi sibukkan?" Karena Mas Ali yang memang tidak memiliki supir, dan Mang Toha itu adalah pelayan serta pribadi dirumah Assegaf, aku jadi tak enak merepotkan orang lain.

"Kan saya yang suruh. Kamu terima beres aja. Saya harus berangkat, kabari jika terjadi sesuatu"

"Yaudah deh" Jawabku mengangguk pelan lalu berjalan mengikuti Mas Ali yang sudah menghabiskan sarapannya menuju keluar rumah untuk pergi bekerja.

Seperti ritual dipagi pada umumnya yang sering kami lakukan, aku mencium tangan Mas dan Mas Ali mencium keningku sebentar, namun yang berbeda adalah cuman tambahan dipipi dan bibir serta elusan lembut diperut yang membuat aku berjenggit beberapa hari ini. Perlakuan Mas Ali perlahan meruntuhkan perasaanku untuk tidak mencintainya.

Wasiat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang