Bab 45: Pergi

30 4 0
                                    

Suara klakson menggema lantas menyapa indera tiap kali transportasi cepat itu melintasi stasiun pemberhentian, diikuti bunyi rel yang saling bergesekan terdengar bising pada rungu. Belum lagi hiruk-pikuk lautan manusia yang memenuhi tempat di sana, ada yang sibuk dengan gawainya sambil berjalan mengambil langkah besar, ada pula yang mengobrol sambil menunggu kereta mereka datang, dan aktivitas normal lainnya di suatu ekosistem stasiun kereta api.

Perjalanan sekitar 7 sampai 8 jam, Hening telah sampai di Stasiun Tugu yang berada di Yogyakarta tanpa semangat yang menggebu. Sengaja langkah demi langkah ia gerakkan perlahan sambil menggendong tas besar pada punggungnya yang terasa berat, sudah ada beban hidup, sekarang ditambah beban barang bawaan, sungguh lengkap. Selanjutnya ia menggunakan transportasi umum bus hingga tidak terasa ia telah sampai di depan gang perumahannya, gadis itu terus berjalan menyusuri area yang sangat dikenalnya. Hari itu kebetulan sedang mendung, sama seperti suasana hatinya sekarang, padahal mereka tidak berjanjian.

"Kangen banget," gumam Hening seraya memperhatikan sekitar. Tentu sudah banyak yang berubah dari kampung halamannya, yang dulu seharusnya sawah, kini menjadi pemukiman warga. Jalanannya pun sudah bagus, mulus. Tidak berbatu seperti waktu dia kecil dulu.

"Hening! Ya ampun nak ... Budhe rindu sekali!"

Baru juga masuk halaman rumah, Hening sudah disambut sosok wanita paruh baya, Budhe Risna. Beliau yang dulu merawat Hening dari kecil membantu Sayani. Perawakan beliau memang kecil dengan surai hitam yang disanggul. Kedua matanya hitamnya sangat cantik, jika sedang senyum seperti itu, Hening seketika jadi teringat sosok sang ayah. Keduanya cukup mirip.

"Assalamu'alaikum, Budhe. Ning pulang," balas Hening sopan sembari salim dan memeluk Risna dengan erat. Tidak bisa gadis itu menahan senyum lebarnya.

Risna pun memeluk keponakannya dengan penuh kasih, seraya mengelus pelan punggung Hening. Memang wanita yang sangat lembut.

"Ning! Cepat masuk, kamu masih ada hutang sama Mama buat menjelaskan semuanya," titah Sayani yang baru keluar dari rumah sederhana bercat biru pastel miliknya. "Ingat, Pak Bambang itu selalu siap untuk langsung kawinin kamu." Ekspresi wanita itu sungguh tidak ramah, setelah berkata seperti itu ia pun langsung kembali masuk begitu saja.

Hening perlahan melepaskan pelukannya terhadap Risna, lalu menatap wanita paruh baya itu dengan menekuk bibirnya takut. Baru juga datang, sudah dicecar oleh ibunya, Sayani memang sudah murka.

Sial, Mama masih ingat aja sama duda botak itu!

"Sudah ndak apa-apa, ayo Budhe temenin," ujar Risna mencoba menenangkan Hening. Gadis itu mengangguk kecil sambil setengah memeluk budhenya, lalu mereka masuk ke dalam rumah.

***

Seperti ada yang kurang, begitu pikir Raga. Rumahnya terasa sepi, padahal biasanya memang selalu begini—sebelum gadis itu datang dan meramaikan kediaman. Dia, Hening Merona, yang akhir-akhir ini mengisi pikirannya. Raga bersandar pada sofa ruang tamu, memejamkan mata sambil memijit pangkal hidung setelah mengecek setumpuk akta, masih ada setengahnya tapi pikiran dia sedang tidak fokus, jadi memilih untuk beristirahat sejenak.

Tidak ada kabar dari Hening beberapa hari ini. Kira-kira dia sedang apa? Saat itu perkataanku terlalu kasar tidak ya? Raga perlahan membuka matanya, seketika hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu. Tidak bisa begini. Jika mengingat gedung kesenian sang ibu sudah diratakan dengan tanah memang sangat menyayat hati, tapi jika terlarut dalam kesedihan terus memang tidaklah baik. Pria itu lantas beranjak dari ruang tamu, ketika memanggil sang supir untuk mengantarnya ke suatu tempat, ia dihadang oleh keberadaan Aden yang baru saja turun dari motornya.

"Bang Raga! Sorry banget," Aden mencoba mengatur napasnya, "mungkin kedatangan gue ke sini bikin lo risih tapi gue nggak bisa tinggal diam aja kalau lihat Mbak Hening kawin sama duda botak di kampung."

Raga mengerjap, lalu terbesit penjelasan Hening waktu dulu, soal alasan gadis itu menyetujui hubungan palsu. Maniknya perlahan bergerak ke arah lain, lalu kembali menatap Aden.

"Gue bakal terus minta maaf ke lo beribu kali, tapi tolong selametin masa depan Mbak Hening, Bang," pinta Aden dengan sangat memohon. Dia sampai izin sakit hari ini karena keadaan urgent setelah mendapat pesan dari Hening.

Sebetulnya, bukan sepenuhnya kesalahan Aden. Soal siapa orang yang bisa membocorkan rekamannya dengan Hening ini, yang masih menjadi tanda tanya besar, karena jadi bukti terkuat. "Saya harus ke tempat lain dulu untuk meluruskan sesuatu, kamu ikut saya," ujar Raga mencoba tenang.

Aden mencegah pria itu yang akan masuk ke dalam mobil. "Aduh Bang kita nggak ada banyak waktu! Besok Mbak Hening udah jadi istri orang!" teriak Aden dengan penuh kecemasan.

Jam pada gawai dicek oleh Raga, sekarang masih jam 3 sore. "Jangan panik dulu, ada transportasi udara bisa cepat sampai ke sana. Sudah ayo ikut saya dulu."

Kepanikan Aden mereda, lalu tersenyum dengan bodoh. "Oh iya, gue lupa kalau Bang Raga holang (orang) kaya. Nggak kayak gue yang harus naik bus atau kereta," monolognya. "Tunggu Bang!" Ia pun masuk ke dalam mobil pria itu, meski tidak tahu akan diajak ke mana.

***

"Jadi, apa lagi yang ingin kamu bicarakan?" tanya Prayan dengan penuh penekanan. Tetapi tatapan tajamnya tidak sampai menusuk, dia tampak tenang sambil bersandar pada sofa.

Aden menelan ludahnya dengan susah payah, wibawa Prayan memang dapat menekan mental seseorang yang baru saja dijumpai, apa lagi hanya remahan rengginang seperti Aden. Dia melirik Raga yang terlihat tenang dengan duduk tegap menghadap Prayan dan berani menatap tatapan sang kakek. Aden terkesima sambil menggeleng pelan, pikirnya Raga cukup keren dan laki banget.

"Raga ingin meminta pengampunan, Kek. Raga tahu, sudah melakukan kesalahan fatal karena membohongi Kakek berbulan-bulan ini." Ekspresi Raga tampak sedih tetapi hatinya sudah bulat. "Awalnya, Raga memang hanya berniat untuk menjalin hubungan palsu dengan Hening, seperti yang Kakek dengar di rekaman Danar ... kami memiliki kondisi masing-masing yang saling menguntungkan."

Aden yang menyimak sebenarnya juga ikut cemas, takut-takut Prayan akan menyemburkan api saat itu juga. Kuasanya terulur untuk meraih gelas sirup melon, kerongkongannya terasa kering, lantas segera ia meneguk minuman itu untuk meredakan kegugupan.

Sang kekek sedikit merendahkan tendasnya seraya menaikkan sebelah alis. "Lalu?"

"Tapi sekarang, dari hati Raga yang paling dalam, ternyata Raga sudah jatuh cinta dengan Hening, Kek," ujar Raga dengan berani dan jujur, terlihat pada tatapan kesungguhan yang diagihkan pria itu.

Terdengar suara batuk berulang dari Aden, dia tersedak mendengar penuturan Raga di sebelahnya. Ia menatap Raga dan Prayan secara bergantian seraya perlahan menaruh gelasnya. "Gue—Sa-saya sebagai adik dari Mbak Hening berani jamin Kek, kalau Bang Raga betul-betul tulus dengan kakak saya," bela Aden yang akhirnya menjalankan tugasnya juga untuk membela Raga.

Prayan menggumam pelan seraya mengeluarkan gawainya untuk menghubungi seseorang. "Masuk Pak, ke ruang tengah," ujarnya singkat lalu kembali measukkan gawai ke dalam kantung bajunya.

Raga dan Aden memasang wajah bingung, menunggu sampai seseorang muncul dari belakang mereka dan berdiri tepat di sebelah Prayan dengan gestur badan yang sopan. Raga mematung karena terkejut, masih tidak mengerti dengan keberadaan sosok pria yang sangat ia kenal, hampir setiap hari mereka bertemu.

"Beliau ini 'mata' kakek, yang juga membocorkan rekaman kesepakatanmu itu, Raga," jelas Prayan dengan tenang.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang