3. Perjalanan Dimulai

10 2 0
                                    

"Saya mengajukan diri!"

Sontak semua pasang mata menatap Valorie.

"Jangan bercanda, Val.." Victor memandang kembarannya dengan cemas. 

Pria itu tentu tidak setuju dengan keikutsertaan Valorie dalam rombongan mereka.

Valorie menatap Victor sebentar lalu menyapukan pandangannya ke semua tamu, "Aku akan mengikutsertakan diriku dalam rombongan ini. Aku yang paling tahu mengenai naga-naga Cina," ucapnya mantap tanpa ada keraguan sedikitpun.

Namun perkataannya justru membuat kecemasan Victor meningkat.

"Apa Anda yakin, Ms. Winston?" Amalric bertanya dengan ragu. Tapi Valorie mengangguk dengan yakin.

Amalric menghela napasnya, "Baiklah. Kau akan ikut dalam rombongan perjalanan menuju markas Cina. Tapi saya tegaskan, Ms, bahwa perjalanan ini tidak bisa kita hitung dengan perkiraan seberapa banyak bahaya yang menanti. Masih ada waktu untuk Anda mengundurkan diri."

"Yang Mulia, dengan segala hormat, saya tidak akan pernah mundur. Saya sudah pernah beberapa kali bertemu dengan bahaya. Saya tidak takut." 

Valorie tetap mempertahankan pendiriannya dengan yakin. Ia tidak takut. Ia sudah pernah berkenalan dengan bahaya sejak remaja.

"Baiklah, jika ini memang keputusanmu yang tak bisa diubah." Amalric menatap Valorie dan menghela napas panjang.

"Victor, Thomas, dan Valorie, aku harap kalian sudah siap untuk berangkat pada hari Rabu." 

Sontak mereka bertiga mengangguk setelah mendengar perkataan sang Raja.

Hari Rabu tinggal tiga hari lagi. Mereka harus segera berkemas dan siap untuk pergi ke markas para naga.

Kemudian, acara dibubarkan, semua tamu undangan mengundurkan diri untuk pulang menuju kediaman masing-masing.

Tapi sebelum si kembar beranjak, suara Amalric menghentikan langkah Victor.

"Letnan Winston, aku ingin berbicara denganmu empat mata di ruang kerjaku."

Victor mengangguk dan mengikuti langkah Amalric menuju ruang kerjanya.

Sementara Victor berbicara dengan sang Raja, Valorie memilih menunggu di mobil.

Kembali ke Victor, setelah mereka sampai, Amalric menatap Victor dengan serius.

"Aku hanya ingin mengingatkanmu lagi, kau yang memimpin misi ini. Karena aku tahu kau pasti sudah diberitahu mengenai ini lewat atasanmu, Ardian Rhysander. Aku harap kau bisa memimpin misi ini dengan baik."

Amalric menepuk pundak Victor dengan pelan.

"Ya, Yang Mulia."

"Baiklah, kau boleh kembali, Letnan," ucap Amalric.

Victor membungkukkan badannya sebagai tanda hormat sebelum berbalik untuk keluar dari ruang kerja Raja.

***

Setelah acara itu berakhir dan mereka berdua telah sampai di dalam penthouse milik Valorie, Victor tidak bisa menahan dirinya lebih lama lagi.

"Apa maksudmu, Val?! Kau tahu itu sangat berbahaya! Aku tidak bisa melihatmu kembali terancam bahaya!" 

Victor menunjuk-nunjuk Valorie dengan marah. 

Pria itu menatapnya tajam. Sedari tadi, Victor menahan amarahnya.

Amarah yang bercampur dengan kecemasan sekaligus.

"Dengar, Vic, hanya aku satu-satunya yang tahu tentang naga-naga itu di antara anggota lain dalam rombongan," kata Valorie dengan lembut. 
Mencoba menjelaskan alasannya kepada Victor dengan kepala dingin, tapi pria itu malah mendecih sinis.

"Huh? Padahal tadi ada yang keras kepala saat dibujuk, sekarang malah ingin ikut misi. Dasar plin-plan."

Victor menunjukkan raut wajah yang membuat Valorie ingin sekali mencakarnya.

Victor sengaja mengejek kembarannya, seraya memutar matanya.

"Ck, dasar menyebalkan! Sana pulang!" Usir Valorie sambil melototkan matanya dan mendorong punggung kembarannya hingga sampai depan pintu.

"Val-"

Brak

"Ya ampun, aku diusir kembaranku sendiri! Dasar wanita, padahal aku mengkhawatirkannya," gumam Victor sambil berkacak pinggang.






Kembali lagi di istana…

"Izinkan aku ikut mereka, father," bujuk Theodore kepada ayahnya, Amalric.

Amalric menghentikan kegiatan membacanya dan berganti menatap putra satu-satunya itu.

"Apa yang memutuskanmu untuk ikut? Kau tahu, ibumu pasti takkan setuju." Amalric menghela napasnya. Ia mengalami hari yang berat.

"Aku merasa itu juga tanggungjawabku. Aku tidak bisa bersantai menunggu kabar dari mereka sementara mungkin nyawa mereka terancam di sana.. Aku akan mengorbankan diriku untuk negara, agar tidak terjadi lagi perang, father." Theodore menjelaskan dengan sabar kepada ayahnya.

"Baiklah, aku akan mengizinkanmu, son. Tapi bicaralah dengan baik-baik kepada ibumu agar dia mengerti." 

Amalric dengan berat hati mengizinkan anaknya untuk ikut serta dalam misi. Kalaupun ia tidak mengizinkan, putranya itu akan terus berbicara kepadanya sampai ia berkata 'ya'. Sangat keras kepala.

"Ya, aku tahu, ayah. Omong-omong, di mana ibu?" Tanya Theodore sebelum menghampiri ibunya. "Ibumu berada di perpustakaan," jawab Amalric

Theodore segera berjalan menuju perpustakaan setelah ayahnya memberitahu.

"Mother," panggilnya ketika melihat ibunya sedang duduk di kursi dekat dengan perapian sembari membaca sebuah buku.

"Oh, Theo, ada apa?" Tanya ibunya dengan senyum yang terpatri di wajahnya. "Aku ingin memberitahu sesuatu," katanya dengan gugup.

"Dan apakah itu?" Ibunya menunggu lalu menyuruh Theodore untuk duduk di kursi sebelahnya.

"Aku akan ikut pergi pada hari Rabu," Ia memulai dengan suara pelan. 

"Ini adalah tanggungjawabku, mother, aku tak bisa melihat mereka terancam bahaya sementara kita dapat duduk dengan santai menunggu kabar dari mereka. Anggap saja aku melakukan pengorbanan demi negara." Theodore tersenyum lembut kepada ibunya.

"Itu sangat berbahaya, nak," ucap Aine dengan raut cemas yang sangat kentara di wajah cantiknya. 

Meskipun umurnya tak lagi muda, namun kecantikannya tidak pudar seiring dengan bertambah usia dirinya.

"Aku akan memastikan diriku baik-baik saja, mother, jangan cemas." Theodore mengecup tangan ibunya dengan sayang.

Aine mengelus kepala anaknya, "Berjanjilah kau akan kembali dengan selamat."

Pria yang dikenal sebagai Putra Mahkota itu mengangguk, "Ya, aku berjanji, ibu."

***

Hari-hari telah terlewati, ini adalah saatnya mereka untuk berangkat menuju markas Cina.

Ada 25 orang anggota yang ikut serta dalam misi ini, termasuk Valorie dan Theodore.

Saat ini mereka berada di markas Angkatan Udara Inggris, atas perintah Raja, mereka pergi menggunakan jet canggih buatan asli Inggris.

Dua jet yang akan digunakan telah dimodifikasi agar bisa berkamuflase dengan awan serta dapat menempuh jarak yang sangat jauh tanpa takut akan kehabisan bahan bakar.

Jet itu berukuran besar dan pada bagian dalamnya terlihat luas, jika dilihat dari luar tidak akan terlihat seluas itu.

"Kalian sudah siap?" Tanya White, seorang pilot untuk jet 1 – yang terdapat Valorie, Victor, Theodore, Thomas, dan beberapa prajurit.

Serempak mereka mengangguk kemudian tak berapa lama mereka sudah berada di atas langit.

White menekan tombol, membuat jet dalam mode invisible.

Lalu, perjalanan mereka menuju Antartika pun dimulai. Entah apa yang menanti mereka di sana…





























The Hidden DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang