Quattro

612 15 0
                                    

Cakra celingukan di depan pagar kos Kirania. Dia melirik arlojinya dengan wajah yang mulai terlihat cemas. Pria itu memutuskan keluar dari mobilnya dan membuka gerbang kos itu. Dia masuk ke dalam dan menghela napas panjang setelah melihat deretan kamar yang berjajar di depannya. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kamarnya yang mana, ya?" batinnya.

Cakra segera berjalan cepat ketiga melihat seorang gadis yang membawa tas ransel baru saja keluar dari kamarnya. "Maaf! Saya mau tanya kamarnya Kirania yang mana, ya?" Cakra mengulas senyum ramah.

"Oh, kamar Mbak Kirania ada di lantai dua nomor sepuluh, Mas," jawab gadis itu sambil ikut tersenyum.

Cakra mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih. Dia kemudian melangkah pergi ke lantai dua dan segera mencari kamar gadis yang ia tak juga membalas pesannya sejak tadi pagi itu. Cakra berdiri di depan kamar dengan angka sepuluh yang tertempel. Dia mengetuk pintu itu beberapa kali sambil memanggil Kirania.

"Ki, lo mau bolos kerja apa gimana?" tanyanya untuk yang kesekian kalinya ketika masih tak ada jawaban dari dalam kamar.

Cakra menoleh ke kanan dan ke kiri. Sepi. Mungkin orang-orang di sana sudah banyak yang berangkat bekerja atau kuliah. Dia menggaruk pelipisnya sejenak dengan mata yang tertuju pada knop pintu. Apa boleh buat? Dia bisa ikut terlambat jika Kirania tak juga membuka pintu seperti ini. Cakra memutar knop pintu itu dan napasnya terhembus sedikit kasar.

"Ki?" Dia memanggil gadis yang meringkuk di atas karpet dengan mata yang masih terpejam dan juga napas yang teratur. "Lo masih tidur?" lanjutnya sambil bersimpuh dan menatap gadis itu.

Tak ada jawaban atau pergerakan yang Kirania lakukan. Mata Cakra beredar melihat di setiap sudut kamar itu. Cukup rapi baginya. Kemudian dia melihat sebuah botol alkohol yang tergetak sekitar delapan puluh senti meter dari kaki Kirania. Dia meraih botol itu dan membaca labelnya.

Cakra menghela napas panjang. Dia tahu minuman apa yang ada di dalam genggamannya itu. Cakra bukan anak kemarin sore yang tidak mengerti berbagai macam merek minuman beralkohol. Dia bahkan sering minum meski tidak sampai mabuk.

Cakra meletakkan kembali botol itu dan kembali menatap Kirania yang masih tertidur nyenyak. "Ki..." Suaranya lirih dengan tangan yang menggoyangkan bahu gadis itu. "Bangun udah jam tujuh, Ki," lanjutnya.

Tiba-tiba Kirania membuka matanya lebar dan dia bangun kemudian duduk dengan wajah kaget sampai membuat Cakra sedikit terdorong ke belakang karena gerakan gadis itu. Kirania menoleh dan menatap Cakra serta pintu kamarnya secara bergantian.

"Lo ngapain masuk kamar gue?!" tanya Kirania dengan suara tinggi. Dia bangkit berdiri dengan mata menatap jam di dinding kamarnya. "Sial! Udah jam segini," ucapnya seraya berjalan menuju kamar mandi.

"Lo nggak balas pesan gue dan nggak jawab waktu gue ketuk-ketuk pintu kamar lo jadi gue masuk. Lain kali dikunci pintunya biar nggak ada yang masuk kamar lo. Untung cuma gue, ini aja terpaksa karena takut telat masuk kantor," ucap Cakra.

Kirania nyaris masuk ke dalam kamar mandi. Kaki kanannya sudah menyentuh lantai kamar mandi namun dia menariknya lagi dan menoleh sambil melihat wajah Cakra dengan pandangan kesal. Matanya memerah dengan rambut acak-acakan seperti singa.

"Pokoknya jangan sembarangan masuk kamar gue lagi! Apalagi kita lawan jenis yang baru kenal kemarin. Nggak ada jaminan kalau lo nggak grepe-grepe badan gue." Kirania kemudian melanjutkan langkahnya, dia masuk ke dalam kamar mandi dan membiarkan Cakra terheran sendirian dengan sikapnya.

"Jadi gue yang salah di sini?" Cakra bergumam. "Dia aja tidurnya kayak orang mati begitu," lanjutnya membela diri sendiri meski tak ada yang mendengarnya.

Rembulan SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang