02. A Day With You

19 1 0
                                    

Pulang sekolah Shabira langsung melempar tas nya asal. Merebahkan dirinya di ranjang empuk itu sembari berangan-angan pergi bersama Elvano. Tanpa sadar, kesadarannya mulai menghilang dan digantikan dengan laki-laki tampan yang berdiri di depannya.

Shabira mencoba untuk tak menggubris keberadaan Elvano. Tatapan matanya bergerak ke sana ke sini tidak beraturan. Ia harap laki-laki itu segera menghilang dari pandangannya, walaupun sakit tentunya.

"Kena-" belum sempat menyelesaikan ucapan, sosok Elvano yang berdiri di depannya menghilang begitu saja bak ditelan bumi. Jujur saja, Shabira menginginkan kehadiran Elvano, namun otaknya terus mengisyaratkan laki-laki itu untuk pergi.

Akhirnya Shabira putuskan malam itu untuk bersenang-senang sendiri di alam mimpi. Tanpa kehadiran Elvano, tentu saja masih ada yang kurang. Namun gadis itu mencoba melengkapinya sendiri.

~~~~

Hari minggu Shabira sama seperti biasanya. Ia habiskan untuk menonton tv, main handphone, dan tidur. Setelah menyelesaikan aktivitas mandi, tiba-tiba Shabira ingin pergi melakukan hal yang menyenangkan dengan Elvano.

Shabira dengan perasaan senang, melompat ke atas ranjang. Berbeda dengan kemarin yang berfikiran tak ingin melihat wajah Elvano, gadis itu kini sudah tak sabar melihat wajah laki-laki yang menjadi objek favoritnya akhir-akhir ini. Sosok laki-laki yang selalu menjadi tujuan disetiap langkahnya.

Sibuk berangan-angan, Shabira akhirnya sampai pada alam tempat tinggal Elvano, alam mimpi. Lucid dream terasa sangat mudah, karena Shabira sering melakukan hal itu.

Berbeda dengan kemarin, sosok laki-laki yang Shabira bayangkan sudah menyambutnya dengan senyum sumringah. Shabira bertanya dalan batin mengapa Elvano bisa berubah dalam sehari. Apakah Elvano sebenarnya dua orang?

Hening. Tak ada yang membuka suara, canggung pun melanda. Beberapa detik kemudian suara berat dari Elvano menelusup telinga. Suara yang membuat Shabira terbang dalam sekejap.

"Kenapa?" tanya Elvano.

"Aku mau jalan-jalan sama kamu," jawab gadis di depannya dengan semangat membara.

Elvano tak langsung menjawab, laki-laki itu terlihat berpikir dengan serius. Raut wajahnya yang sedang berpikir sangat menggemaskan demi tuhan.

"Boleh. Tapi kamu harus ingat kalau-"

"Sttt, diem," Shabira menempelkan telunjuknya pada bibirnya sendiri. Lalu ia melanjutkan kalimatnya, "Sejenak, aku mau ngelupain kenyataan," ujar gadis itu seolah mengerti lanjutan kalimat Elvano.

Hari itu, mereka habiskan dengan pergi ke dufan, menonton film, membeli jajanan di pinggir jalan, dan melihat sunset bersama. Shabira merasa semua itu biasa saja, namun akan terasa luar biasa jika dilakukan dengan sosok yang dicintainya.

Kini, mereka tengah memakan es krim di tepi pantai. Langit berubah menjadi jingga kala matahari mulai menenggelamkan dirinya. Meninggalkan pemandangan luar biasa indahnya.

Tak disangka, pikiran bahwa Elvano meninggalkan Shabira terlintas dibenak gadis itu. Lantas ia menoleh, perasaannya bercampur aduk kala tak melihat Elvano di sana. Jiwanya seakan ditarik ke kenyataan. Lalu dengan napas tak beraturan gadis itu bangun dari mimpi indah.

"Padahal lagi seru-serunya," kesal Shabira dan mulai beranjak dari ranjang menuju lantai bawah. Energinya terasa terkuras setelah melakukan lucid dream. Beruntung hari ini libur, jadi ia bisa bermalas-malasan di rumah.

~~~~

Tak terasa, satu hari sudah berlalu. Kembali lagi ke hari senin yang membosankan. Pagi ini, Shabira disuguhi telepon dari Aurora. Lantas gadis itu mengambil handphonenya yang ada di atas nakas dengan malas.

"RA!!!"

Belum kembali ke jiwa seutuhnya, nyawa Shabira hampir melayang karena terkejut dengan teriakan maut Aurora.

"Apaan dah, pagi-pagi udah bikin ribut," ucap Shabira dengan wajah kesal yang tidak dapat dilihat oleh lawan bicaranya.

"Gue lupa nggak ngerjain pr, contekin ya? Lo kan pinter," jawab diseberang sana.

"Itu bukan lupa, tapi kebiasaan lo!" Gadis itu meninggikan suaranya lantaran tak kuasa dengan tingkah sahabatnya itu.

"Lo udah sampai di sekolah?" tanya Shabira tiba-tiba.

"Iyalah. Gue kan ga kayak lo yang berangkat sekolah lima menit sebelum bel masuk," apa yang dikatakan Aurora memang fakta. Bukan Shabira namanya kalau berangkat pagi-pagi.

Berbanding balik dengan Shabira, Aurora memiliki kebiasaan berangkat sekolah awal sekali. Bahkan kelewat awal. Sahabat Shabira itu selalu saja sudah berada di sekolah pada jam 05.30. Tidak kurang maupun lebih.

Sedangkan Calista, dia adalah gadis normal pada umumnya. Berangkat tidak telat dan tidak terlalu pagi. Gadis itu normal dalam hal sekolah, tidak dengan akhlak. Jika moodnya sudah melampaui batas, maka ia akan bertingkah seakan sedang dirasuki setan.

Kembali lagi pada topik pembicaraan Aurora dan Shabira. Panggilan diakhiri sepihak oleh Shabira karena bosan mendengar gerutuan Aurora yang terus menerus menyuruhnya memberi contekan. Padahal jika Shabira tak mau, Aurora akan tetap memaksa. Jadi apa gunanya menolak? Tak ada pilihan lain bagi Shabira selain memberi contekan pada mahluk satu ini. Untung saja Calista otaknya lumayan, jadi ia tak perlu memberi gadis itu contekan juga.

••••

Maaf jika ada kalimat salah atau typo, jangan lupa juga buat pencet bintang sama komen. Bye-byeee, muah

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lucid DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang