Bab 25

237 39 2
                                    

Alara tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Gadis itu sedikit heran saat menemukan rumah di seberang pintunya masih terbuka. Dan beberapa orang tampak mondar-mandir di sana.

Disambut sang ibu, Alara menyuarakan keheranan.

"Rio di rumah sakit," terang Artha dengan tatapan sedih.

"Sakit apa dia? Tadi pagi, perasaan masih baik-baik aja pas aku pergi kerja."

Artha duduk di kursi terasnya. Tatapannya nanar ke arah rumah di depan sana.

"Umur nggak ada yang tahu, ya, Nak." Wanita itu berkaca-kaca.

Artha menceritakan apa yang ia lihat tadi siang. Di mana ibunya Rio, Afni, berteriak histeris karena menemukan sang anak kejang-kejang di kamar. Wanita itu bersama suaminya membawa putra mereka ke rumah sakit setelahnya.

"Sakit apa, Buk? Kok bisa sampai kejang-kejang?"

Sepenuhnya Artha tak mampu membendung air mata. Ia melanjutkan cerita. Tentang kepulangan Rio yang ternyata tak sekadar untuk liburan.

Dua jam setelah mengantar anaknya ke rumah sakit, Afni pulang. Artha yang memang hari ini tidak berjualan mendatangi dan mendapat cerita utuh.

Rio pulang karena tahu hidupnya sudah tak lama lagi. Laki-laki itu mengidap penyakit parah. Kanker otak stadium akhir.

Mendengar penuturan ibunya, Alara mematung dengan wajah memucat. Perempuan menggeleng pelan.

"Memang hasil cek darah dan tes lainnnya udah keluar, Buk?" katanya demi memberi harapan palsu pada diri sendiri.

"Rio sudah melakukan itu semua. Rio sendiri yang kasih tahu ibunya soal penyakitnya. Itulah kenapa dia pulang. Karena dia tahu hidupnya nggak akan lama lagi, Ala." Tersedu-sedu, Artha mengusapi pipi yang basah.

Walau cuma tetangga, tetapi sebagai sesama orangtua Artha tahu seberapa besar duka yang kini Afni alami. Tak ada orangtua yang akan baik-baik saja saat tahu buah hatinya bisa meninggal kapan saja.

"Semua orangtua mau anaknya berumur panjang. Nggak apa mereka yang pulang duluan, asal anaknya sehat selalu." Artha menatap putrinya penuh kasih sayang. "Nanti, biar ibu duluan saja, ya, Nak. Ala harus berumur panjang."

Alara memeluk ibunya, berusaha menenangkan, meski hatinya sendiri amat gusar. Bagaimana juga, Rio adalah temannya sejak SMP. Rio adalah laki-laki baik yang sering memberinya tumpangan untuk pulang. Adalah sangat wajar jika sekarang Alara ikut menangis.

***

Alara mengganti jadwal off-nya. Harusnya dua hari lagi, tetapi si gadis memilih untuk mengambil libur hari ini. Beruntung lawan shift-nya bersedia membuat penyesuaian.

Hari ini Rio pulang. Usai dirawat selama seminggu, pihak rumah sakit dengan terpaksa membiarkan lelaki itu pulang karena si pasien bersikeras. Karenanya, Alara ingin menemani temannya itu satu harian. Pun, kata Afni akan ada acara makan bersama keluarga dan kerabat terdekat.

Jujur saja, acara itu membuat perasaan Alara gusar bukan main. Apalagi, saat tahu kalau acara makan bersama itu digagas dan diminta langsung oleh Rio.

"Ibuk, Ala ikut bantu-bantu masak di rumah Buk Rio, ya?"

Artha mengangguk. Wajah wanita itu dihiasi kesedihan sejak kemarin-kemarin. Alara jadi membayangkan bagaimana keadaan Afni sekarang? Ibunya saja yang cuma tetangga bisa sesedih ini, konon keluarga kandung Rio?

Sekitar pukul sepuluh pagi, Alara mendengar suara mesin mobil masuk ke pekarangan rumah Rio. Gadis itu bergegas ke depan untuk menyambut. Dan benar, Riolah yang pulang.

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang