44 • tanpa nahkoda

175 16 1
                                    

Sejak kejadian waktu itu, Gian tidak bisa melepaskan bayang wajah anaknya yang terlihat sangat kecewa. Selama lebih bertahun-tahun mengurus Azkia dari kecil hingga sekarang, baru kali ini ia merasa seperti sudah menghancurkan harapan anaknya hingga menjadi debu.

Azkia menjadi sedikit pendiam daripada biasanya. Walaupun ia masih melakukan pekerjaan rumah dengan baik, tetap saja Gian merasa tidak bisa istirahat dengan tenang. Nyanyian tidak jelas dari Azkia sedikit demi sedikit meredup, menjadi remang-remang seperti lampu. Sesuatu yang semula menyinari hidupnya kini menjadi padam perlahan.

Gian duduk termenung di depan meja rias, mengusap-usap bahunya yang pegal sambil berpikir bagaimana caranya agar bisa berbicara pada Azkia dengan baik. Sibuknya kegiatan akademik Azkia sudah meraup banyak waktu yang seharusnya bisa dilewati bersama, dan Gian ingin membalas semua waktu tersebut dengan anaknya.

Sekarang sudah pukul empat sore. Gian yang awalnya akan mengganti pakaian kini tertuju pada piyama hijau muda yang digantung di pintu lemari. Setelah lebih dari lima detik ia memperhatikan piyama tersebut, rasanya seperti ada yang mengganjal di dalam hatinya.

Ia melepaskan pakaiannya satu-satu sambil berusaha untuk bisa menatap pantulan tubuhnya di kaca meja rias. Mencoba untuk kembali merasakan bahwa ini adalah badannya. Tubuh yang membawa Gian pergi kesana kemari, yang mampu membuatnya menerima sentuhan dan rasa kasih sayang dari sebagian orang yang Gian anggap spesial.

Tidak ada yang menarik. Badannya tetap begitu saja, tanpa ada tato atau tindikan. Tidak ada yang harus dibanggakan, tidak sama sekali. Gian tersenyum tipis sambil mengenakan piyama, diam-diam dalam hati menahan rasa jijik setelah melihat kedua kakinya.

Sesuatu mulai mengembung di bagian dadanya. Sedikit demi sedikit menjadi besar dan mulai membentuk, rasanya seperti benda bulat yang membuat dada Gian cukup sesak. Semakin Gian memaksakan diri untuk melanjutkan kegiatannya, semakin besar juga benda tersebut dapat dirasakan. Seperti akan mencuat dari dadanya dan menembus badannya hingga menciptakan lubang.

Gian buru-buru duduk di atas kasur dan memegang keningnya yang terasa seperti bongkahan arang panas. Ia berusaha untuk tetap membuka kedua matanya, namun mustahil. Gian mencoba untuk merebahkan badannya dan mengatur nafas, tetapi tidak ada hasil yang memuaskan.

Tidak mungkin ia mati sekarang, kan? Gian masih ingin melihat Azkia menjadi anak laki-lakinya, masih ingin menjadi ayah, dan segala kemungkinan lainnya. Walaupun Gian tidak dapat berharap banyak, ia hanya ingin hidup untuk sekarang. Darimana semua nyeri ini datang?

Kedua tangannya menarik selimut dan ia berusaha untuk sembunyi di dalamnya. Kabur untuk sementara dari situasi ini tidak terdengar terlalu buruk, dan Gian hanya ingin semua perasaan ini hilang dari dalam tubuhnya. Gian tidak mau mengalami semua perasaan aneh seperti ini, yang ia inginkan hanya menjadi ayah yang baik. Ayah yang baik.

Apakah pekerjaannya semakin sulit? Tidak, Devan dan Joshua masih menjadi teman kerjanya yang baik. Hanya saja, ia merasa Joshua terlalu bersemangat dan ambisius untuk mengejar target. Devan tahu akan hal itu, tetapi ia memilih diam karena keduanya tidak pernah melihat Joshua sebahagia ini.

Gian tersenyum tipis mengingat interaksi antara dirinya dengan Joshua. Keduanya merasa menjadi sahabat baik akhir-akhir ini, selalu makan bersama di kantor dan saling menyemangati. Ia juga terlihat ceria saat menceritakan kisah cintanya, dan Gian sama sekali tidak iri dengan itu.

Hanya saja, kapan dunia akan mulai berbuat baik pada dirinya? Apakah Gian melakukan kesalahan fatal dalam memilih perjalanan hidupnya? Tidak mungkin, kan? Gian tahu ia bisa memilih apapun yang ia inginkan, hanya saja, ia tidak tahu apakah pilihannya benar atau tidak.

Gian merasa seperti sebuah batu besar yang menghalangi kehidupan semua orang. Apa yang harus ia lakukan sekarang jika ia menjadi sebuah rintangan untuk hidupnya sendiri yang seratus persen dikontrol oleh dirinya? Apa yang seharusnya ia lakukan?

Ia tidak boleh menangis.

Perlahan, Gian dapat merasakan air matanya yang mulai membasahi pipi sedikit demi sedikit. Ia tidak mampu menutup kedua matanya, sehingga pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Gian membiarkan tangisannya terjun bebas, dan ia tidak akan menahan hal tersebut.

Nafas yang semula normal, kini berubah menjadi tersendat. Bongkahan bulat yang terasa ada di dadanya sudah menjadi semakin besar dan menyempitkan. Seperti memaksa untuk tetap berada di dalam, tidak ingin keluar dan pergi dari kehidupannya.

Beberapa bulan yang lalu, ia masih ada di dalam dekapan Samudera. Dengan lembut wajahnya dielus, sambil dikecup berulang kali untuk menenangkan Gian yang lagi-lagi mengalami mimpi tersirat. Samudera tidak terlalu suka melihatnya menangis, sehingga Gian berusaha untuk bisa memilah emosinya agar terlihat bahagia.

Sekarang, apa?

Tidak ada juga kan wujudnya?

Lalu kenapa Gian harus menahan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidupnya?

"Iya juga ya." ucap Gian lirih, sembari memaksakan diri untuk tersenyum lebar. Dadanya yang sesak tidak bisa membohongi siapapun. Ia menangis. Ia sudah menangis.

Apa yang akan Samudera lakukan?

Tidak ada.

Kini mereka sudah jauh, dan Gian hanya bisa melihat jejak kaki milik Samudera di bayangannya yang berjalan pergi menjauhi dirinya.

Sekarang Samudera tidak ada. Maka karena itu, Gian akan menangis setiap saat.

loose steps | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang