Pagi-pagi sekali, bahkan belum genap sepuluh menit aku duduk di ruanganku, bu Lingga sudah menghubungiku dan memintaku agar segera datang ke ruangannya. Ada hal penting yang ingin ia sampaikan katanya. Hingga disinilah aku sekarang, berada di ruangan kepala devisi mutu dan kompetensi guru. Duduk berhadapan dengan bu Lingga yang tersenyum lembut memancarkan aura keibuannya.
"Papa Mami gimana kabarnya, Re?" Wow, pertanyaan pembuka ini sungguh diluar ekspektasiku.
"Baik Bu, masih sibuk seperti biasanya."
"Saya lihat dari status whatsapp-nya kemarin lagi sibuk berkebun juga?"
"Oh itu kemarin nganterin Eyang pulang ke Semarang, terus main deh ke kebunnya Eyang."
Ada jeda sejenak dimana bu Lingga mengangguk dan tersenyum sebelum kembali bersuara. "Dulu waktu pak Adi masih di sini dan sesekali cerita tantang anaknya. Beliau bilang putri semata wayangnya itu anak yang ngeyelan, keras kepala, dan punya kemauan kuat. Dan setelah bertemu langsung, saya tambahkan kalau anaknya itu cukup nekat dan terlalu berani."
"Bu Lingga sedang memarahi saya kan?"
Wanita paruh baya berusia akhir 40-an itu tertawa pelan, memperlihatkan keriput diwajahnya yang mulai muncul. Sejujurnya aku cukup curiga dengan bu Lingga seminggu ini, pasalnya seminggu setelah meeting dimana terjadi perdebatan antara aku, pak Anang dan pak Kasiyu, bu Lingga sama sekali belum menegurku. Biasanya belum genap hari berganti bu Lingga sudah memintaku untuk menemuinya, dan langsung membombardirku dengan kultum yang mengerikan dan berbagai ancaman.
"Menurut kamu, saya nggak marah dengan sikap kamu kemarin?"
"Iya saya salah Bu, saya minta maaf banget ya."
Tidak langsung menjawab, bu Lingga menyerahnya sebuah dokumen padaku. "Saya tugaskan kamu untuk menggantikan Karin menjadi guru pengganti selama satu semester di salah satu SMA di Jakarta. Seperti yang sudah kamu tau, saya sedang melaksanakan penilaian dan analisis langsung mengenai sekolah-sekolah yang kita punya, agar kita punya data yang valid untuk mengajukan program peningkatan kompetensi guru. Karin yang akan menjelaskan secara detail prosedur pelaksanaan dan identitas kamu selama menjadi guru disana.
Bisa dibilang ini hukuman saya untuk kamu. Tapi saya yakin kamu akan belajar banyak karena terjun langsung ke lapangan, merasakan sendiri bagaimana menjadi guru dan menilai sendiri bagaimana lembaga pendidikan yang kita punya."
Aku yakin wajahku sudah melongo kaget mendengar setiap ucapan bu Lingga. Pun aku sedang menimbang-nimbang respon seperti apa yang mestinya aku berikan. "Ini akan dimulai minggu depan kan bu? Terus pekerjaan saya disini gimana?"
"Remote. Serahkan semuanya ke anggota tim kamu, dan kamu bisa memantaunya dari jauh."
"Kalau saya perlu menghadiri meeting?"
"No. Saya bebastugaskan kamu dari meeting selama menjadi guru."
"Saya nggak bisa nolak ya bu?"
"Saya nggak mau ditolak."
Okay, sepertinya keputusan bu Lingga sudah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Lalu kalau sudah begini aku bisa apa. Mari kita berpikir positif, it's gonna be fun and I will have a lot of new experience.
***
"Jadi aku akan menjadi guru muda berusia 25 tahun dengan pengalaman kerja di SMA swasta selama satu tahun, dari keluarga menengah yang hidup sederhana. No branded stuff."
Karin mengangguk dengan ragu, tugasnya untuk menjelaskan peranku selama menjadi guru ini dilakukan di cafeteria kantor yang baru saja di renov satu bulan lalu. Setelah bertemu bu Lingga dan menyelesaikan beberapa hal di ruanganku, di jam sepuluh tiga puluh pagi aku menyeret Karin ke cafeteria. Di waktu tanggung begini biasanya cafeteria tidak terlalu ramai, jadi aku bisa berdiskusi dengan Karin sambil nyemil atau menyeruput minuman menyegarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Okay, We're Married on July
Художественная прозаAku tidak pernah merasa seputus asa ini sepanjang 29 tahun hidupku. Mungkin ini adalah alasan Tuhan menciptakan manusia bernama Mauren Tedjasukmana. You know, katanya apapun yang Tuhan ciptakan itu tidak ada yang sia-sia, semua punya tujuan. Bahkan...