"Tidak apa-apa, Noona. Aku akan menunggu."
Jangan menunggu.
Jangan katakan tidak apa-apa.
Kalau kamu begitu terus ... aku akan luluh.Ah ... sejak kapan sebenarnya kisah rumit ini dimulai? Apa sejak aku memutuskan untuk menentang Ayah yang ingin aku menjadi seorang pengajar demi impianku yang ternyata lebih melelahkan? Atau sejak ... , "Mama!" aku mengandung Naeun saat baru kepala dua?
Tidak. Aku tidak menyalahkannya. Memang aku siapa berani menyalahkan peri kecilku yang cantik. Kelahirannya adalah berkah hidupku.
Tidak ada yang lebih kusyukuri, selain dapat mendengar sapaan Mama keluar dari bibir gadis manis berkuncir kuda dengan pita yang terlihat sedikit berantakan sebab diajak berlari.
"Mama," sapanya lagi sesaat setelah aku berjongkok guna merapikan ikatan pitanya. "Paman Jongu tidak akan datang, ya?"
"Mama 'kan sudah bilang jangan memanggilnya begitu."
"Tidak mau. Paman sendiri suka kok aku panggil begi—oh! Itu dia! Paman di sana! Yeay, paman datang!"
"Naeun, diam dulu! Pitanya jadi tidak bisa mama rapikan." Gadisku tidak menggubrisnya, malah kian berjingkrak-jingkrak sampai seseorang berpakaian rapi bersama se-bucket bunga di genggaman ikut berjongkok tepat di sebelahku.
Sesaat kuperhatikan penampilannya yang menawan, memuji ketampanannya, tetapi kemudian aku tertawa getir. Bahkan tuxedo abu-abu itu tidak dapat menutupi fakta bahwa dia hanyalah seorang bocah SMA yang sedang berpura-pura menjadi pria dewasa.
"Ta-da! Bunga untuk penari cantik kita hari ini."
Gadisku amat bersemangat menyambutnya, bahagia terlukis jelas di kedua sudut bibirnya. Ya Tuhan, apa aku sanggup merenggutnya ... pikiranku tidak sempat terbuai lebih jauh sebab bocah yang berpenampilan seperti pria dewasa itu dengan sengaja menyenggol lenganku, menarik atensiku.
Agaknya, dia menungguku menyapanya.
Akan tetapi, yang ucapkan bukanlah yang dia harapkan.
"Kamu itu berlebihan. Naeun 'kan hanya tampil di kelulusan kakak kelasnya."
"Aku tahu," jawabnya. "Aku hanya ini berpenampilan sebaik mungkin di hari pertama Naeun tampil menari."
"Yang ada seolah kamu yang akan tampil." Gumamanku dibalas kedipan nakal sebelum kemudian dengan telaten menggantikanku merapikan pita Naeun.
Berikutnya pemuda itu menjanjikan, "Pulang nanti paman traktir es krim, mau tidak?" yang tentu saja disambut suka cita oleh gadisku.
Keheningan membersamai langkah kami menuju tempat di mana Naeun akan menari. Balet adalah kecintaannya yang pertama, yang berikutnya adalah es krim, dan selanjutnya adalah pria yang gadisku panggil 'Paman Jongu'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada Tuan Yang Berpura-pura Dewasa
Romance"Tidak apa-apa, Noona. Aku akan menunggu." Jangan menunggu. Jangan katakan tidak apa-apa. Kalau kamu begitu terus ... aku akan luluh.