Aku mondar-mandir di depan ruangan Ning Zahra menjalankan terapinya. Dia ditemani dengan Kiayi dan Nyai sedangkan aku tinggal di luar ruangan. Jam telah menunjukkan pukul 18.03, sebentar lagi masuk masuk waktu magrib dan aku belum pulang ke pondok untuk menelpon Aulia.
"Aulia, maafkan aku kali ini tak bisa menghubungimu," gumamku yang tidak berhenti mondar-mandir.
Hati kecilku masih berharap, kami pulang sebelum magrib namun belum ada tanda-tanda Kiayi keluar dari ruangan.
Setelah lelah mondar-mandir, aku pun memutuskan untuk duduk di kursi rumah sakit ini.
Azan magrib menggema. Kusen pintu bergerak. Akhirnya mereka keluar.
"Maaf ya Abim antum lama menunggu." Kiayi menyapaku lembut.
"Ndak, Kiayi. Ndak apa-apa."
Kiayi dan Nyai tersenyum padaku. "Kalau gitu kita salat magrib dulu di mushalla rumah sakit ini ya, Bim!"
"Nggih, Kiayi."
Kegelisahan ini kian tak berhenti, salat magrib sudah ditunaikan dan aku masih saja memikirkan tentang telepon yang menjadi jadwalku hari ini.
"Iya, Mbak. Nggak masalah, nanti kapan-kapan ke rumah saya, saya banyak banget nanem bunga termasuk juga bunga mawar putih."
Telingaku rasanya melebar, suara lembut dengan sedikit ada serak basah itu kukenali.
"Ah, mana mungkin dia ada di sini," ucapku mengelak dengan perasaanku.
"Beneran, Mbak. Wah, saya ada dulu nanem cuman sayang sekali sudah mati bekas ada yang nggak sengaja nginjek." Ini begitu jelas suara Ning Zahra.
Tapi, sedang bicara dengan siapa dia? Nung Zahra nampak sedang berbincang dengan seorang perempuan yang sedang duduk menghadap Ning Zahra, membelakangiku. Tidak kuketahui pasti, namun suara itu sangat mirip dengan perempuan bermata cokelat bersih yang selalu aku rindukan disetiap detik waktuku, Aulia.
Tapi mana mungkin dia berada di sini, jarak rumah sakit ini dengan tempat tinggalnya terbilang jauh. Biasanya, aku harus menggunakan dua buah alat transportasi untuk sampai ke persimpangan menuju rumah dan pula harus dijemput lagi oleh supir dari rumah dengan jarak tempuh perjalanan kurang lebih satu jam.
"Zahra, mari kita pulang!" Kiayi dan Nyai mendatangi Ning Zahra. Aku pun bergegas untuk pergi ke parkiran dan menyiapkan mobil.
**
Dengan hati yang lumayan galau ini, aku menyetir mobil dengan pelan. Gagal sudah penantian satu pekan ini. Aulia, maafkan aku!Nyai dan Kiayi sibuk mengobrol dengan anak mereka, aku tak begitu mendengarkan perbincangan mereka namum terdengar sangat bahagia.
Dering ponsel terdengar mengalun dengan nada dering syair indah nan merdua yang mana suara itu tak lain adalah suara salah satu santri yang terkenal di pondok dengan ketampanan dan keindahan suara merdunya, tak lain adalah aku.
Haha, maaf sombong dikit!! 😂
Hampir saja mobil ter-rem mendadak di tengah jalan, untungnya aku masih sadarkan diri dan bersigera membelokkan arah menuju pinggir jalan raya.
Ning Zahra nampak gelagapan menekan gawainya yang berdering, mengapa dia menggunakan suara indahku untuk nada deringnya?
"Abim, ada apa?"tanya Kiayi panik.
"Ndak ada apa-apa, Kiayi. 'Afwan, tadi hampir hilang kendali." Peluhku terkucur menjamur di balik pakaianku.
"Kiayi, Nyai, Ning gimana, ada yang terluka?"
"Ndak ada, Abim. Lain kali lebih hati-hati ya!"
"Nggih. Kiayi, sekali lagi Abim minta maaf."
"Sudah ndak usah minta maaf. Bisa lanjut jalan?"
Aku manggut-manggut dan kembali menyetir dengan lebih fokus.
"Zahra, sejak kapan kamu pakai nada dering?" tanya Nyai.
"E, e, sejak..."
"Zahra ndak tahu, Ummah. Pasti ini Mas Adnan yang buat, Zahra ndak tau apa-apa."
"Yang bener?" tanya Nyai dengan nada menggoda Ning Zahra.
"Ummah," jawab Ning Zahra.
"Abah, lihat Ummah!" adu Ning Zahra.
Bagaimana jika kalian berada di posisiku sekarang ini gaes? Aku harus berekspresi seperti apa? Tolong!
"Ummah, sudah! Jangan digoda mulu ah anaknya. Zahra, tadi siapa yang nelpon, kok ndak diangkat?"
"Astagfirullah, Zahra lupa. Mas Adnan yang nelpon."
"Coba telpon balik, barangkali ada yang penting."
"Baik, Abah."
Mungkin karena rasa kaget dan terburu-burunya saat mendengar nada dering yang diubah oleh Gus Adnan membuat Ning Zahra lupa dan langsung menutup panggilan telepon tersebut. Ah, aku harus bisa berpikiran sangat positif kali ini.'Assalamu'alaikum, Mas Adnan. Maaf tadi kepencet hpnya!'
"Kencengin suaranya, Nak!" ucap Nyai. Kiayi dan Nyai mendekatkan wajah mereka ke Ning Zahra karena sedang berlangsung panggilan video pada gawai milik Ning Zahra.
Suara Gus Adnan mulai terdengar kepadaku karena Ning Zahra telah memperbesar volume speaker gawainya.
"Gimana Nak? Sudah beres urusan di Mesir?" tanya Kiayi.
'Alhamdulillah sudah, Bah. Oh iya, kira-kira siapa yang gantikan beasiswa Azam di sini? Abah sudah tentuin santrinya?'
Daun telingaku melebar. 'Menggantikan beasiswa Azam?' gumamku.
Azam, santri kebanggaan nomor satu di pondok kami. Dia mendapatkan beasiswa sekolah ke Mesir tahun ini, dan dia sudah berangkat tiga bulan yang lalu bersama Gus Adnan dan dua hari yang lalu Gus Adnan kembali menyusulnya. Ternyata ini alasannya.
"Jadi Azam benar-benar tidak bisa melanjutkan?"
'Iya, Bah.'
"Kalau gitu nanti Abah cari gantinya."
Sesi telepon berakhir. Kami juga sudah sampai di depan rumah Kiayi. Setelah memarkirkan mobil Kiayi ke dalam bagasi aku bergegas melenggang pergi ke bagian al-ah keamanan, Al-ah Raden yang paking ditakuti para santri di pondok ini, tatapan pengurus keamanan ini mempunyai mata yang galak dihiasi dengan celak mata yang membuat tatapnnya begitu tajam menyoroti setiap santri yang melanggar tata tertib pondok. Banyak pula yang tidak menyukainya, sebenarnya dia itu baik di depan kami para pengurus namun jauh seribu derajad berbanding terbalik jika di hadapan para santri.
"Zakki," panggilku.
"Abim, antum baru dateng?"
Sambil ngis-ngosan aku berusaha bicara. "Na'am, baru aja sampai. Gimana-gimana, masih sempat ga ana nelpon?"
"Waduh, sayang sekali antum telat tiga menit, Bim. Sesi nelpon baru saja berakhir."
Badanku rasanya luruh, selaian habis terkuras dengan berlari-larian. Rasa kelabu ini sungguh membuat hatiku pilu, Aulia aku rindu suara lembut serak basahmu itu.
"Sebaiknya coba antum tanya sama Al-ah Raden. Barangkali ada keringanan."
"Usul yang baik. Syukron, Zakki."
Semangat ini bertambah dua persen, apapun akan aku lakukan demi bisa mendengar suaranya, bertanya kabar dan ceritanya yang tidak lebih dari sepuluh menit.
"Al-ah Raden. Afwan, boleh ana bertanya sesuatu?"
Al-ah Raden yang sibuk melihat daftar hukuman santri itu pun mendilik pelan ke arahku. Sirat matanya, sungguh menegangkan.
"Al-ah Abim. Antum kemana aja? Sini, duduk sini, ngapain di situ."
"Afwan, tadi ana habis nganterin Kiayi ke rumah sakit."
"Iya, ana sudah tahu. Jadi, apa yang mau antum tanyakan sama ana tadi?"
"Apa boleh ana pinjam ponsel pondok? Tadi, ana ketinggalan sesi antri karena masih di jalan sama Kiayi."
Tiba-tiba saja Al-Ah Raden menepuk pundkku. "Antum ini gimana sih? Antumkan sudah jadi pengurus sekarang, kok malah ikutan antri? Ini, pakai saja. Tapi inget, pulsanya jangan dihabisin."
Aku terkesiap kaget. Bagaimana bisa aku lupa? Aku kan sudah jadi pengurus. Haduh, Abim!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Az-Zahra
Roman pour AdolescentsUstaz Abim telah menjalin hubungan dengan perempuan cantik bernama Aulia, mereka harus terpisah karna Abim mengemban ilmu di dalam pondok pesantren pimpinan Kiayi Ja'far. Abim adalah santri yang cerdas dan disiplin, sehingga dia mendapatkan beasiswa...