A-N-O-M-A-L-I
Pernah tidak, merasakan anomali dalam diri sendiri. Otak dan hati bertentangan. Perang untuk mendapatkan pengakuan oleh diri sendiri. Dan itu yang gue alami sekarang.
Beberapa hari memang telah berlalu sejak pertemuan dengan Binar, intensitas percakapan lewat chatingan juga berkurang malah tidak pernah chat panjang lebar.
Beberapa hari yang lalu setelah pertemuan di kantin, dia mulai chat duluan. Hanya basa-basi memang. Lalu beralih menanyakan soal matematika dan berlanjut di telepon dengan topik saat pertama kali bertemu—dia yang marah dengan pacarnya. Jadilah topik berubah menjadi sesi curhat pribadi.
"Kamu sama Fajar pacaran dah berapa lama?" Btw, kata ganti orang sudah berubah di hadapan dia. Yang mulanya lo-gue, malah ikutan jadi formal —aku-kamu.
"Hampir 3 tahun. Aku jadian saat kelas 1 dulu. Kita kenal karena sama-sama di kelompok yang sama. Ngomong-ngomong, dulu kamu ada di kelompok mana? Aku dulu di Kimia. "
"Kimia.... Kimia.... Orangnya ramah-ramah." Gue menirukan yel-yel legend mereka —lebih ke mengejek dibanding mengkilas balik—di mana bagian 'ramah-ramah' lebih terdengar seperti 'rama-rama'. Yel-yel itu selalu teriang-iang di kepala, padahal gue bukan dari kelompok itu.
"Ihh.... kamu... kok?"
" Tahu? " ujar gue menyambung kata dia yang hilang. " Iya lah, kelompok itu paling lucu menurutku. Oh, iya... aku di kelompok Bahasa dulu. "
" Iya, aku juga rasa gitu, kelompok kita benar-benar lucu. Bagaimana nggak, pembinaannya aja lawak semua. Tapi bersyukur juga kita dapat banyak piala karena itu. "
Gue tertawa mendengar kata piala.
"Iya, piala abal-abal. Trus kadonya, isinya gimana? " Lagi-lagi gue ketawa mengingat kado dan piala mereka. Dimana pialanya bukan piala seperti pada umumnya yang hanya berupa tanah liat disusun tidak beraturan membentuk tingkatan. Dan kado yang isinya batu bata, tapi dibungkus begitu cantiknya.
"Ish! Jangan ingetin. Aku benar-benar malu saat itu, udah excited banget, berharap ketinggian. Ehhh, tau-tau memalukan," kesalnya. "Tapi itu masih mendingan ada yang bisa dibanggakan. Lah, kelompokmu?" Dia tertawa lepas banget. "Yel-yel aja tidak hafal. Mana liriknya sahut-sahutan lagi. Trus malu-maluin. Kelompok paling bobrok. Gimana tuh sama pialanya." Ketawanya makin menjadi.
" Hellow, mana ada pialanya, eh, itu pure bukan kesalahan kita. Coba aja pembimbingnya pada waras semua trus peduli juga kelompok kami udah pasti dapat juara. Ehh... tapi ada untungnya juga loh, kelompokku nggak kena malu dapat hadiah gak berfaedah gitu." Gue ikut tawa mengejek.
Seketika, topik loncat ke tempat yang jauh. Gur cukup lega karena tidak stuck di sesi curhat yang sangat-sangat membuat gur gerah. Kita saling mengejek hingga topik kembali di ganti.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Last Wish
Teen FictionAku mencintaimu karena Tuhan menghadirkanmu untukku. Tidak ada alasan lain. Tapi, nanti, jika janjiku untuk selalu disisimu direnggut takdir, aku ingin kamu bisa melupakanku. Jangan pernah ingat aku jika itu alasan kamu terluka. Kamu pernah tanya a...