"Vision without any action is just another form of bullshit".
(Ian Hugen).
---
"Halo semuanyaa! Kembali lagi bersamaku Tara Nandini. Well, how's life? I hope u guys doing good. Di sini aku cuma mau cerita aja sedikit tentang hari ini, aku yakin kalian bisa menebaknya. Seperti hari sebelumnya yang tidak jauh berbeda, kuliah, part-time sebagai barista dan diakhiri dengan membuat sebuah video pendek—yang tidak akan aku publikasikan tentunya—
Aku ingin bertanya kepada kalian, apakah kalian pernah melihat sebuah barang yang dalam sekali lihat saja sudah membuatmu sangat sangat menyukainya? Aku ingin sekali membeli barang itu, memang sedikit mahal, tapi aku yakin dapat membelinya jadi doakan aku yaa." Senyumku ke arah kamera seraya melambaikan tangan dan menghentikan kamera yang tengah merekam wajahku.
Saat ini, pukul 23.05 aku membayangkan bagaimana hidupku kedepannya. Bahasa gaulnya sih quarter life crisis. Part-time sebagai karyawan di salah satu coffee shop yang ada di kota ku memanglah melelahkan. Bagaimana tidak, selepas jam kuliah yang banyak dari temanku habiskan untuk nongkrong atau pergi ke sana-ke sini,aku habiskan untuk bekerja sampai malam. Banyak tugas kuliah yang harus aku selesaikan sepulang dari kerja yang tidak jarang menyita jam tidurku.
---
"Taraaa! Tunggu gue!" aku mendengar teriakan sahabatku dari arah belakang punggungku saat hendak membuka pintu kelas pertamaku, "Yeuu gausah teriak-teriak juga deh Dev, kaya di hutan aja lu." "Gue udah manggil lu dari gerbang Tara Nandini, tapi lu gaada tuh nengok ke gue. Kayanya telinga lu emang bener harus dicek deh Tar". Pagi ini aku dan Devi memiliki kelas yang sama. Akan aku beri sedikit penjelasan kepada kalian tentang sahabatku ini. Devika Anaya sebut saja Devi, aku dan dia berteman sejak bangku Sekolah Dasar. Namun, kami berpisah karena berbeda sekolah pada saat SMP dan bertemu lagi pada saat SMA hingga di bangku perkuliahan ini. Devi sahabatku satu-satunya, karena memang aku tidak banyak memiliki teman, bisa dibilang aku sulit untuk bersosialisasi.
"Agenda lu hari ini apa Tar?" bisik Devi kepadaku agar tidak mengganggu mahasiswa lain yang tengah mendengarkan materi. "Gue masih ada kelas satu lagi Dev nanti siang, balik dari sini juga langsung ke café kaya biasanya" aku menjawab pertanyaan Devi sembari mencatat materi. "Lu ga cape Tar tiap hari kerja? Sekali-kali cari hiburan lah Tar. Masa muda gabisa diulang dua kali tau" "Kalo gue ga kerja nanti siapa yang bayar kuliah gue Dev? Biaya hidup gua juga siapa yang mau nanggung? Biaya sekolah adik gue juga siapa yang mau bayar kalo bukan gue". Devi menatapku iba "Hidup jahat ya Tar" aku hanya menanggapinya dengan tersenyum.
Pukul 3 sore, setelah perkuliahan berakhir aku bergegas menuju ke café tempatku bekerja.
Tara
Ca, jangan lupa beli nasi bungkus di warteg depan ya buat kamu makan. Uangnya kakak simpen di tempat biasanya.
Esha
Iya kak nanti Eca beli ke depan.
Semangat kak.
Seperti biasa, aku selalu menyempatkan diri untuk mengirim pesan kepada adikku. Esha Amara, adik perempuanku satu-satunya. Umur Esha 16 tahun, yang mana 6 tahun lebih muda dariku, saat ini aku hanya tinggal berdua dengannya. Orangtuaku berada di kota yang berbeda denganku, mereka bilang ingin mencari pekerjaan di lain kota. Namun, entahlah sudah tiga tahun ini mereka tidak memberi kami kabar, hal inilah yang membuatku mau tidak mau harus bekerja mencari uang untuk keberlangsungan hidupku dan Esha. Aku sempat berfikir untuk menemui kedua orangtuaku dengan bermodalkan alamat yang pernah ibuku berikan. Akan tetapi, aku urungkan niatku untuk menemui mereka karena saat ini bekerja dan menghasilkan uang adalah prioritas utamaku. Untuk menemui orangtuaku akan aku pikirkan nanti, mungkin saat umur Esha sudah lebih dewasa.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Tara
Teen Fiction"Gue tau lu orang paling mandiri yang pernah gue temuin Tar, tapi tolong libatin gue disetiap hiduplu." -Mahatma Gyan Sagara "Lakuin apa yang emang lu mau, lakuin apa yang emang lu suka. Apa pun itu. Tugas gue di sini cuma buat ngedukung lu Tar." -N...