"Ini bukan ranah kita." Katon berpesan pada sang istri, Dhita. Mengetahui kenyataan tentang hubungan Naina dan Bhumi tak menampik kalau sepasang suami istri itu sangat terkejut. Laki-laki itu sangat mengenal watak istrinya. Katon paham kalau Dhita pasti ingin menanyakannya langsung pada Bhumi. "Jangan ikut campur."
Dhita mendengus agak kesal. Di awal perkenalannya dengan Naina bertahun-tahun yang lalu memang membuatnya penasaran. Ia tak pernah melihat sosok suami Naina sekali pun. Naina cantik, bahkan sangat cantik. Seiring berjalannya waktu, Naina pun sedikit demi sedikit mulai terbuka.
"Mungkin kami memang sudah nggak berjodoh, Mbak."
Mengingat jawaban Naina saat itu membuat Dhita semakin penasaran. Kini, ia sudah tahu siapa sosok suami Naina yang selama ini tak pernah terekspos. Masalah apa yang sebenarnya membuat keduanya sampai harus berpisah dan menjadikan Aluna sebagai korban?
"Tapi, Pa—" Dhita tak bisa sepenuhnya menerima mandat sang suami. Dirinya dan Naina sama-sama seorang perempuan.
Katon mencengkram lembut bahu istrinya. Kepalanya menggeleng lembut. Ia tahu kalau wanita yang sudah sepuluh tahun lebih menemaninya mengarungi bahtera kehidupan itu tak akan rela menurut.
"Please," pintanya pada Dhita. "Biar mereka menyelesaikan masalahnya. Sepulangnya dari sini, kamu bisa tanya ke Naina. Pelan-pelan. Gimana?"
Pintu kamar keduanya diketuk dari luar. Suara Bhumi memanggil nama mereka. Sekali lagi, Katon kembali memperingatkan istrinya.
"Biar aku yang buka. Jangan bahas soal ini, ya."
Dhita hanya mengangguk, sementara Katon berjalan menuju pintu. Sosok Bhumi dengan pakaian yang sudah berganti pun muncul dari balik pintu.
"Kenapa, Bhum?" tanya Katon. Sebisa mungkin ia bersikap sesantai yang ia bisa. "Kok lo sudah rapi banget. Mau pergi?"
"Kita jalan-jalan, yuk!" sahut Bhumi. "Ada tempat makan yang enak dan view-nya bagus di malam hari, apalagi untuk couple kayak kalian berdua."
Katon dan Dhita saling bertatapan untuk beberapa detik lamanya.
"Kalian coba dulu signature dish mereka," ucap Bhumi yang seakan begitu mengenal restoran itu. "Gue suka banget makanan-makanan di sana. Na—"
"Na apa, Mas?" tanya Dhita cepat. Ia bisa melihat dengan jelas wajah Bhumi yang seketika berubah pucat. "Na apa, Mas? Itu nama makanannya?"
"Nama menu andalan mereka makaroni panggang dan lasagna gulung. Kalian harus coba." Helaan napas Bhumi perlahan terdengar. "Kalian siap-siap, ya. Gue tunggu di depan."
Benar apa yang Bhumi katakan. Pemandangan di restoran memang sangat cantik, ditambah ornamen-ornamen estetik yang membuat pandangan seolah tak mau beralih. Nyala api lilin yang ada di setiap meja pun menambah kesan romantis. Benar-benar tempat yang pas untuk dating!
"Mas Bhumi sering makan di sini?" tanya Dhita. Kepekaannya saat Bhumi yang hampir saja kelepasan membuatnya tahu kalau restoran ini menjadi salah satu tempat favorit Bhumi dan Naina. Namun, Dhita ingin mendengar langsung dari mulut laki-laki itu. "Kayaknya Mas Bhumi sudah familiar banget sama restoran ini."
"Sering datang kalau pas ke rumah Mama. Tapi, sudah nggak sesering dulu. Cuma kalau pas pengin mampir aja," jawab Bhumi. Tangannya bergerak mencampur segelas es teh manis yang sudah lebih dulu dihidangkan. Larutan gula cair dan teh pun perlahan bersatu. "Mama awalnya nggak suka karena terlalu banyak keju. Tapi—"
"Tapi apa, Mas?" sela Dhita. Sungguh ia tak sabar menunggu kelanjutannya. Akankah Bhumi menyebut nama Naina malam ini?
"Istriku berhasil buat Mama suka makanan-makanan yang ada di sini. Mama jadi suka dan selalu ngajak makan di sini setiap kali kami berkunjung."