Zania menatap kedua retina mata Alina dengan serius. Tepat setelah perempuan di depannya ini menandaskan sebuah cerita, Zania bisa merasakan sekujur tubuhnya berubah dingin.
"Dan, ya ... nggak ada yang bisa gue lakuin selain semuanya harus selesai, 'kan?" lanjut Alina lagi, dengan tenang. Sama seperti sejak pertama membuka suaranya di keramaian Heavens Càfe pada sore hari ini.
Zania meneguk salivanya sesaat. "Gue nggak bisa kasih petuah apa-apa, Na. Yang jalanin hubungan ini, kalian berdua. Dan jujur, sebenernya gue pun udah setuju jika hubungan kalian ... selesai." Melihat tidak ada tanda Alina yang ingin merespon, Zania memilih melanjutkan ucapannya, "Apa, ya? Menurut gue, sifat laki-laki yang satu itu—dalam hal ini, yang sasimo, nggak cukup sama satu cewek, itu udah ... the biggest red flag. Dan memang sudah seharusnya, dijauhi."
Alina mengangguk pelan, lantas mengulas senyum tipis. "Makanya pas gue tau kalau Alfa sering flirting ke sana-sini, gue udah mikir bahwa ... hubungan kita sebenernya udah nggak sehat. Meski udah dijalanin bertahun-tahun, tetep aja itu nggak menjamin seberapa besar frekuensinya untuk bertahan. Daripada nyakitin gue lebih lama, lebih jauh lagi, gue memilih berhenti. Walaupun ... iya, sih ... sedih."
Ada tawa yang lepas dari bibir Alina seiring air matanya yang mulai jatuh satu-persatu. Zania mendekat dan membawa tubuh sahabatnya itu ke dalam rangkulan. Menepuk-nepuk bahu Alina saat dirasanya tubuh perempuan tersebuh bergetar.
Zania pernah merasakan putus dengan kekasih. Tapi saat itu, dia tidak memiliki perasaan yang sebesar milik Alina pada Alfa. Jadi, tidak ada tangisan. Malah dia merasakan kelegaan luar biasa sebab bisa melepaskan diri dari belenggu hubungan yang diciptakan dari rasa tidak enak.
Dan melihat Alina yang menangis di pelukannya sekarang, membuat darah Zania mendidih. Sosok Alfa di ingatannya tiba-tiba saja menjelma menjadi manusia bajingan yang ingin sekali dia tampar. Zania sudah mempunyai perasaan yang tidak enak semenjak pertemuan tidak sengaja mereka di bioskop kapan hari. Dan semuanya memang menjadi kenyataan yang pahit.
Alina mengaku sudah tidak kuat. Sifat Alfa yang cenderung tidak cukup dengan satu wanita, membuatnya menyerah juga. Zania mendengkus pelan saat mengingat hubungan keduanya sudah jalan di tahun ketiga. Tiba-tiba saja, sebuah pertanyaan muncul di kepalanya. Mengapa seseorang baru menyerah setelah begitu lamanya dia bertahan dan melewati hari-hari penuh kesedihan? Jika akhirnya akan selesai juga?
Zania tidak mengerti. Dan bertanya pada Alina sekarang adalah sebuah keputusan yang salah. Saat ini, dia hanya bertugas untuk menenangkan sahabatnya terlebih dahulu. Urusan menghakimi dan menyalahkan, Zania sama sekali tidak punya hak.
"Na, mau makan es krim, nggak? Hari ini gue yang traktir."
Alina tersenyum seraya menghapus jejak air mata di pipinya. "Kayak anak kecil banget. Abis nangis, disogok pake es krim."
"Kan, manusia di depan gue ini memang kayak anak kecil," ujar Zania melempar tawa meledek.
"Di Sweetest?"
"Huum. Tapi kalau mau di tempat lain, boleh."
"Beli yang di minimarket aja, Zi. Abis tuh kita makannya di rooftop gedung FIP."
Mata Zania mengerjap beberapa kali. "Di ... kampus?" tanyanya tidak yakin.
"Iya."
Sebetulnya, Zania tidak masalah. Meski hari sudah beranjak sore dan jarak Heavens Câfe ke kampus bisa dibilang tidak dekat, tetapi hari ini dia sedang memerani sebuah lakon sebagai sahabat yang baik. Zania ingin membuat perasaan Alina menjadi lebih baik dan merasa tidak sendirian. Dan pulang lebih sore daripada biasanya, bukanlah hal yang seharusnya dia permasalahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake Our Ineffable [Completed]
Romance"Lo mau move on, 'kan? Ya udah, tanggepin semua yang lagi deketin lo." "Nggak mau." "Nggak mau apa?" "Move on." "ZI!" ____ Zania merasa perjalanan hidupnya tidak ada yang sesuai dengan rencana. Gagal masuk Fakultas Psikologi. Gagal mendapatkan beasi...