Bab 46: Titik Temu

26 2 0
                                    

Jadi supir Raga itu adalah orang suruhan kakek untuk mengawasinya selama ini. Tapi kenapa?

"Jangan kira Kakek selama ini hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, Raga. Bahkan jauh sebelum kamu memulai sandiwara itu Kakek sudah bertindak, meski tidak menyangka akan berjalan semulus ini," jelas Prayan seraya mengulas senyum tipis. "Katakanlah semua ini sudah Tuhan yang mengatur. Kakek salut kamu bisa bermain dengan rapi, tapi namanya manusia pasti memiliki sisi keteledoran. Supirmu tahu segalanya, kalian melakukan perjanjian di dalam mobil, jadi Kakek pikir pasti ada sesuatu yang mengikat kalian entah perjanjian tertulis atau sebuah rekaman, kan? Hal mudah untuk supirmu mencari informasi pada gawai yang sering kamu tinggal di mobil. Danar belum tahu soal ini, dia pikir kali ini rencananya sudah berhasil."

Aden tanpa sadar menganga saat mendengar penjelasan Prayan. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak sepenuhnya pada kakek itu.

"Jadi ... selama ini Kakek sudah tahu semuanya? Tapi kenapa tidak langsung menegur Raga?" tanya Raga. Dia merasa penasaran juga anehnya lega, seperti bebannya selama ini telah terangkat semua.

Prayan menyuruh supir itu untuk kembali ke luar. "Kakek ingin lihat perkembanganmu dengan Hening, kali saja kalian memang berjodoh. Tapi betul kan akhirnya? Segala sesuatu harus dicoba dulu, Raga. Kamu enggan menjalin hubungan dan terpaku pada gedung kesenian milik ibumu itu, kakek merasa khawatir. Kakek bisa meninggal kapan saja lho, kesampingkan si Danar itu, tinggal kamu yang belum memiliki pasangan hidup."

Raga tidak habis pikir dengan sikap kakeknya yang kelewat tenang itu, mungkin dia melihat Raga dan Hening sebagai dua anak muda yang jika dipertemukan dan butuh waktu akan tumbuh rasa cinta. Jika iya, Raga sangat salut dengan cara sang kakek mengambil keputusan. "Raga akan mencoba melangkah maju, Kek." Raga tersadar, jika dia bisa keluar dari kungkungan masa lalu, maka dia kelak bisa merjaut kembali memori indah yang baru.

"Kamu harus paham jika kakek melakukan semua ini hanya demi kebahagiaanmu. Sekarang waktunya buktikan ucapanmu itu ke kakek dan bawa Hening ke keluarga Bimantara," titah Prayan seraya mengulum senyum lembut.

"Terima kasih banyak, Kek," ujar Raga dengan senyuman tulus yang mengembang.

***

Duda Botak

Halo sayang

Sudah bangun belum?

Mas mau pap dari kamu dong

Duda Botak send a photo

"YA TUHAN!" teriak Hening sambil melempar gawainya sembarang—masih ke kasur. Kedua matanya yang sembab membuat gadis itu tampak lucu ditambah ekspresi menahan kegelian yang sampai membuat bulu kuduknya meremang. "Apa yang barusan gue lihat? Ngapain coba dia ngirim foto telanjang dada begitu. Astaga mataku ternodai." Hening yang tadinya terlentang kini jadi miring menghadap ke arah lain seraya memeluk dirinya sendiri.

Beberapa hari yang lalu akhirnya dia berjumpa juga dengan Pak Bambang, Hening sangat berterima kasih kepada sang ibu. Berkat Sayani anaknya itu bisa bertemu dengan kenyataan juga, bagi Hening saat bersama Raga sebelumnya memang terasa seperti di alam mimpi. Pria berumur 45 tahun yang kaya raya itu memakai serenteng kalung perak, cincin batu akik dengan bangga ia pamerkan, hingga beberapa giginya yang sudah berganti warna menjadi emas. Sepertinya mata hazel yang dimiliki Pak Bambang adalah satu-satunya pesona yang dapat Hening perhitungkan. Coba gue bisa kawin sama matanya aja. Membayangkan kembali tatapan pria tua itu saja sudah membuatnya ingin memuntahkan isi perut.

Seharian dia mengurung diri di kamar, hingga sore ini perutnya bahkan belum diisi makanan. "Mama jahat banget, masa tega ngawinin anaknya sama modelan kayak Pak Bambang," gumam Hening yang tidak bisa berbuat apa-apa sebab ia memang merasa bersalah sudah membohongi ibunya. Semua ini adalah bentuk kemurkaan Sayani, wanita paruh baya itu yang menekankan sendiri karena sudah terlalu kecewa.

Pintu kamar perlahan terbuka, tampak Budhe Risna berjalan masuk. "Ning, kamu dipanggil ibumu, ayo keluar cuci muka dulu," ujar Risna dengan lembut sambil mendekati Hening yang menggeleng cepat dan buru-buru bergelung ke dalam selimut.

Hening sayup-sayup mendengar ada suara pria yang sedang mengobrol dengan Sayani di luar. "Ning nggak mau ketemu sama Pak Bambang, Budhe ...." Rasanya gadis itu ingin kembali menangis sekarang, bibirnya sudah merengut menahan air matanya yang siap keluar.

***

Pada halaman rumah kediaman Nila dan Danar, tampak keluarga kecil itu berkumpul dan sesekali berbincang satu sama lain. Enzi terlihat asyik bermain air di kolam renang mini yang diisi bola plastik dan juga bebek-bebekan karet, satu baby sitter setia mengawasi dan berinteraksi dengan Enzi. Sedangkam tidak jauh dari sana, Nila dan Danar terlihat sedang duduk saling berhadapan, menikmati langit sore dengan camilan kentang goreng dan sirup pandan yang menyegarkan.

Angin sepoi-sepoi meniup surai ikal milik Nila, wanita itu tidak banyak bicara seperti biasanya, kali ini hanya Danar yang aktif membahas suatu topik.

"Akhirnya ya Mi, kita bisa hidup tenang juga, rencana Papi hebat kan? Siapa sangka supir Raga akan menusuk tuannya sendiri, hahaha," tawa Danar menggema dengan puas. Dia merasa bangga karena dapat menjatuhkan Raga dan Hening, pria itu yakin jika hubungan keduanya pun sudah tamat sekarang.

Jika kembali membahas masalah ini, entah kenapa hati Nila merasa ada yang aneh. Dia enggan menimpali kalimat sang suami. Bahkan senyumnya langsung sirna ketika maniknya tiba-tiba tertuju pada Enzi, lebih tepatnya pada siku dan pundak anaknya yang masih terlihat lebam meski dari jarak segitu. Jujur, hatinya akhir-akhir ini sedang bimbang. Ia memikirkan perkataan Prayan juga masuknya Enzi ke Taman Kanak-Kanak.

Danar menghentikan tawanya karena merasa sang istri tidak langsung merespon seperti biasanya. "Kamu kenapa, sayang? Kalau sedang tidak enak badan mending sekarang kita masuk aja, sebentar lagi Papi juga harus bertemu klien dan orang pers," ujar Danar sambil mengecek arloji miliknya.

Nila mendesah berat lalu menatap lekat manik suaminya. Ekspresi Nila jarang sampai seserius ini sebelumnya, sampai tampak gurat kecemasan pada paras. Wanita itu menggeleng pelan lalu berujar, "Enzi harus pindah sekolah, Pi."

Danar menyatukan kedua alisnya bertanda butuh penjelasan lebih dari Nila. "Lho, kenapa Mi? Apa kurang bagus kurikulumnya? Enzi tidak cocok di sana?"

"Anakmu dirundung di sekolah," cicit Nila. Rahang wanita itu mengeras, menahan sesuatu yang hendak mencuat. Sejujurnya ia malu mengatakan ini, anak kesayangannya yang sangat baik itu harus mengalami perundungan, padahal masih masuk TK. "Enzi. Anakmu itu di bully. Luka lebam itu bukan karena terjatuh, tapi di dorong kawannya, mereka mempermainkan Enzi karena anak itu tidak bisa membela diri."

Danar tercenung mendengar kalimat dari Nila, lalu terkekeh pelan setelahnya mencoba menolak penjelasan itu. "Ah, mana mungkin begitu. Enzi itu bibit dari aku sama kamu, sayang. Paling itu cuma bercandaan anak kecil saja. Kamu nggak perlu—"

"Aku khawatir, Mas! Setiap hari aku yang nganterin dia ke sekolah, dan lihat sendiri kalau Enzi di dorong dengan sengaja!" jujur Nila dengan penuh emosi, suaranya meninggi sampai membuat Enzi menoleh ke arahnya. Danar sampai terkesiap, tidak menyangka istrinya akan seemosional itu. "Sebenarnya selama ini apa yang kita kejar?"

Kedua manik Nila mulai berkaca-kaca. Sebetulnya sekarang dia hanya sedang dihantui rasa cemas yang teramat sangat, sebab sang anaklah yang harus menuai hasil dari perbuatannya di masa lalu.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang