Bab 29

256 33 6
                                    

"Kamu kan yang kasih tahu Alara!"  Barata mengacungkan telunjuknya pada Anin yang sedang makan di ruang tamu.

Baru saja tiba di rumah, kebetulan menemukan si pelaku, Barata tak membuang waktu untuk memberi perhitungan.

Anin meneguk air dari gelasnya. "Apa, sih, pulang-pulang ngamuk?"

"Kenapa?" Barata duduk di samping Anin. Ia melotot berang. "Kenapa kamu kasih tahu itu? Gimana kalau gara-gara itu Alara berubah pikiran? Mau kamu tanggungjawab?"

Barata merengut saat membayangkan hal yang disebutkan tadi terjadi. Bagaimana ini?

"Kamu tahu nggak seberapa lama aku mengusahakan ini semua, Anin? Sepuluh tahun! Aku harus nunggu sepuluh tahun untuk tahu kalau perempuan yang diciptakan untukku itu ternyata pernah ada di dekatku! Dan apa? Kamu menghancurkannya dengan mudah! Cuma karena pengen ngejek aku!"

Bara mengambil bantal sofa untuk diremat dan dipeluk hingga tak berbentuk. Pria itu merengut dengan ekspresi seperti akan menangis.

Apa yang Alara pikirkan tentangnya sekarang? Laki-laki aneh? Pria cengeng? Atau lelaki tidak beres, seperti yang Andre sering bilang?

"Apa, sih, ini? Kenapa kamu, Bara?" Mora yang mendengar suara Bara turun dari lantai dua.

"Ma!" Bara mengadukan apa yang terjadi pada ibunya. Lengkap dengan permintaan supaya Anin dijewer.

Mora tertawa saja. "Maaf saja, Bara. Yang memberitahu Alara soal hobi kamu itu bukan Anin, tetapi Mama."

Seketika Bara duduk tegak. Wajahnya kaku. Mata pria itu membulat pada sang ibu.

"Mama?" tanyanya tak percaya.

Mora mengangguk. "Kemarin, habis acara lamaran kan mama bicara banyak sama mantu mama itu. Ya, beberapa soal kamu pastinya."

Habis kata. Tak mungkin memarahi ibunya, Barata menutup mulut rapat. Ia hanya bisa berdoa semoga Alara tidak berubah pikiran setelah ini.

"Noh, marahin Mama sana!" protes Anin.

Bara bangkit dari duduk. "Aku nggak mau jadi anak durhaka sekarang-sekarang ini," jawab lelaki itu sembari berjalan pergi ke kamar.

***

Barata sempat salah menghitung jumlah pupuk yang masuk hari ini. Ia juga lupa kalau harusnya mengunjungi salah satu rumah pekerjanya yang baru melahirkan. Semua karena masalah film romantis itu.

Saat sore datang, Barata langsung menuju rumah Alara. Meski sebenarnya takut, tetapi ia butuh bertemu perempuan itu untuk memastikan daftar tamu untuk dikirimi undangan sudah lengkap.

Sengaja Bara bawakan banyak coklat. Berharap Alara bisa dibujuk dengan itu. Tak berhenti ia merapal doa supaya Alara bisa mengesampingkan kekurangannya yang sudah dibongkar sang mama.

Tiba di rumah Alara, Barata tak menemukan si gadis. Belum pulang bekerja, kata Artha. Menunggu, Barata menumpang makan.

"Dulu waktu sekolah, Alara itu seperti apa, Nak Bara?" tanya Artha saat ia dan Bara sudah di teras.

Bara tampak mengingat. "Pendiam kayaknya. Nggak banyak berubah dari sekarang, kecuali ...."

"Kecuali?"

"Makin cantik." Bara membuang muka sembari mengusapi tengkuk.

Artha tertawa saja. "Sebenarnya, ibu baru tahu. Ternyata, Alara selama ini mencintai seseorang."

Menengok cepat ke arah Artha, Bara memucat. "Siapa?"

Barata menunggu Artha menyebut nama Adi. Siapa lagi memang laki-laki yang dekat dengan Alara selain Adi? Rio? Tidak.

Alara Doesn't Need Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang