11. ᴀᴛᴍᴏꜱꜰᴇʀ

5 0 0
                                    

"Bintang pun takkan bersinar
tanpa kegelapan."

Ujian tengah semester telah usai, setelah lima hari kami berjuang dan hasil raport akan di bagikan lusa.

Hari senin pagi, aku berjalan menyusuri trotoar di komplek dekat rumah ku. Berjalan dengan menjinjing tas Selempang hitam yang tersampir di pundakku, udara pagi berhembus ringan menerpa kulit ku dengan lembut, embun pagi pun selalu membersamaiku sedetik setelah aku keluar dari rumah.

Lampu jalan di samping halte masih menyala menerangi jalanan yang masih di selimuti langit dongker ke kuningan sebab matahari sudah muncul dari arah sudut timur.

Aku berdiri di depan halte dengan telinga yang tersumpal sepasang earphone dengan alunan melodi yang mengalir mengikuti udara pagi yang sejuk.

Bus berwarna putih yang biasa menjemput dan mengantar ku datang. Seperti biasa, bus selalu sepi--hanya--ada--aku. Tidak seperti bus merah yang selama lima hari ini mengantar ku pulang, bus itu selalu ramai dengan penumpang yang kebanyakan adalah orang dewasa.

Aku masuk ke dalam bus dan tersenyum pada si supir bus yang baru ku ketahui namanya adalah Marco.

Bus mulai berjalan, lantas berhenti kembali di halte selanjutnya. Seperti biasa anak laki-laki itu masuk dan duduk...

Aku terkejut ketika dia berdiri di hadapanku. Maksudku, dia duduk--di depanku.

Astaga!

Lelaki itu melemparkan seulas senyum manisnya ke arahku, detik berikutnya entah bagaimana pipiku menjadi panas. Semoga saja dia tidak melihat warna kepiting rebus di wajahku.

Untuk menghilangkan kecanggungan ini lantas aku membalas senyumannya, mungkin tampak aneh jika di lihat. Tapi lebih baik membalas senyumannya kan dari pada tidak sama sekali yang nantinya akan membuatnya tersinggung.

Kenapa dia memilih duduk di hadapanku padahal ada banyak kursi kosong yang jauh lebih nyaman untuk di duduki? Aku mulai merasakan atmosfer kecanggungan yang tinggi sekarang.

"Umh.. Hai" suara itu kembali menelusup masuk ke telinga ku, " h-hai" aku mengulum bibirku sekedar membasahinya agar tidak kering.

Aku teringat akan sesuatu, jaketnya.

Jaket anak laki-laki itu belum ku kembalikan, aku lupa membawanya. Sebenarnya selama lima hari itu aku memilih untuk berangkat menggunakan kereta api, hanya ingin mencoba hal baru, yah.. Begitulah.

"Uh jaket mu, aku lupa" ujar ku sembari menggaruk tengkuk merasa bersalah.

Lelaki itu kembali tersenyum dan berkata "gak papa kok, kamu bisa kembalikan di lain waktu"

"Kamu sekolah dimana?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku, entah mengapa aku sangat penasaran dengan tempat dia bersekolah karena pakaian yang ia kenakan sangat jauh dari kata 'seragam sekolah'.

"Aku tidak bersekolah" ungkapnya dengan nada datar, aku terkejut. lalu dia pergi kemana pagi-pagi sekali dan pulang pada waktu petang. "Lantas kamu pergi kemana?"

"Ke tempat di mana aku bisa bersenang-senang"

"Di mana itu?"

Universe SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang