Guardian Angel #2

60 1 0
                                    

Forgiveness is not something we do for other people. It's something we do for ourselves to move on...

Nala memperhatikan secangkir teh hijau yang masih mengepulkan uap panas di atas meja kecil berbahan dasar kayu di teras rumah barunya dalam diam. Beberapa menit yang lalu, Bunda muncul sambil membawakan secangkir teh untuk Nala. Bunda berkata, bahwa teh hijau dapat meredam hawa dingin yang sore itu terasa menusuk hingga ke sumsum tulang.

            Telapak tangan Nala tertangkup pada cangkir berwarna putih yang di bagian bawahnya terukir namanya. Seketika rasa hangat dari cangkir itu merambat ke sekujur tubuhnya. Menghangatkan perasaannya, melemaskan engsel-engsel tubuhnya yang sejak beberapa hari yang lalu terasa kaku. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Membentuk seulas senyum kecil yang samar.

            Tanpa sepengetahuan Nala, Bunda mengintip kegiatannya itu dari balik gorden ruang tamu sambil tersenyum lembut. Kedua matanya memanas, hatinya seperti dilumuri kehangatan yang tiada terhingga hanya dengan mengamati senyum simpul itu. Wanita paruh baya itu mengusap sudut matanya, kemudian kembali menuju dapur. Kenyataan pahit yang sampai detik ini masih disangkalnya, bahwa laki-laki itu telah kehilangan hartanya yang paling berharga, yaitu keluarga.

            Nala tersadar dari lamunannya ketika mendengar tawa riang seorang gadis manis berperawakan mungil yang berjalan tertatih-tatih di depan halaman rumah. Nala memperhatikan Billa lekat-lekat. Setiap detail yang ada pada diri Billa telah terpatri mati di dalam ingatannya. Gadis itu terlahir tidak sempurna, tetapi menjadi sempurna karena dia kuat.

            Usia Billa sudah genap tujuh belas tahun, tetapi karena keterbatasan fisik yang mengharuskannya memulai semuanya dari nol. Belajar berjalan selangkah demi selangkah, berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya dengan bentuk kakinya yang tidak sempurna. Belum lagi tubuhnya yang lebih mungil jika dibandingkan dengan remaja seusianya.

            Tetapi dibalik itu semua dia sangat istimewa...

            “Aduuuh. Hahaha...” Billa memekik, kemudian tertawa lebar. Menertawakan dirinya sendiri yang jatuh saat akan menyiram tanaman di halaman. Bajunya basah kuyub, tersiram air dalam ember kecil yang dibawanya.

            “Hati-hati, Billa.” tegur Ayah sambil menyerahkan tongkat penyanggah kepada putri semata wayangnya itu.

            “Nggak usah, Yah, Billa bisa sendiri.” Gadis itu memerlukan waktu yang cukup lama hanya untuk berdiri. Berkali-kali ia terjatuh lagi dan lagi, tetapi ia tertawa, membuat Ayah geleng-geleng kepala.

            “Bil,” panggil Nala tanpa sadar. Laki-laki itu berdiri dari tempat duduknya, menghampiri Billa dan Ayah yang sedang menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

            Nala merasa canggung. Ia menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya, merasa bingung dengan apa yang akan ia katakan kepada Billa.

            “Sini gue bantu.”

            Billa tersenyum lebar. Ia membiarkan Nala menarik tubuhnya hingga berdiri dan mengambil alih ember kecil di tangannya, kemudian memperhatikan Nala yang dengan cekatan mengisi air pada ember hingga penuh.

“Makasih, ya.” Ujar Billa tulus sambil menerima ember berisi air pemberian Nala. Laki-laki itu membalasnya dengan anggukan kecil, lalu kembali duduk di atas kursi kayu di teras rumah.

            Nala tidak tahan berada lama-lama di dekat gadis itu. Entahlah, hanya saja ia merasa malu pada dirinya sendiri. Nala tidak cacat, tetapi ia tidak sanggup berdamai dengan masa lalunya. Sedangkan Billa? Gadis itu terlalu kuat untuk disebut cacat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Guardian Angel #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang