4. {Lagii???!!}

14 0 0
                                    

Keesokan paginya, mereka terkejut mendengar apa yang terjadi pada Dian saat lepas dari pengawasan mereka semalam...

Aini's POV

Di suatu pagi yang cerah, sekitar pukul 5 pagi, mentari masih malu - malu untuk tampil di ufuk timur, saat aku menyiapkan sarapan bersama Ayuba, Rey dan Roy, ketika lagu rap 'Sin, Anubis rap' dari Rustage di handphone ku yang ku letakkan diatas lemari es berganti menjadi sound....

Ara - ara~ Bersyandaa~

Aku dapat merasakan pipiku memanas. Ditambah lagi, Ayuba, Rey dan Roy yang menertawakan nada deringku. Segera kuangkat telepon itu. Segera setelah kuangkat, terdengar suara panik dari atasanku, pak Rizki. 

"Aini! Segera ke Palagan! Diana! Bawa Diana juga! Segera!" 

"Baik, pak!" Jawabku ikut panik sebelum menutup teleponnya dan berlari ke kamar Diana, Vian, Fajar dan Rian, hendak membangunkan mereka. Namun, sebelum aku mencapai kamarnya, mereka sudah terbangun semua karena sound yang jadi nada dering ponselku amat keras. Aku yakin, suaranya bakal terdengar sampai ruang tamu, seakan handphone ku ada di meja ruang tamu, bukan di dapur yang letaknya di sisi belakang lantai 2 rumahku.

"Kak, tadi aku denger sound mahasiswa UGM itu dari mana, kak? Terus, tadi kakak di telepon siapa? Kok kakak jawabnya panik tadi?" Tanya Rian dengan polos sembari masih mengumpulkan separuh lagi nyawanya.

"DIAN! DIANDRA!" Teriakku panik. Aku juga dapat melihat perubahan raut wajah Diana begitu mendengar nama kakak kembarnya kusebut dengan panik.

"Dian kenapa, kak?!" Tanya Diana ikut panik. 

"Semua! Cuci muka, pakai jaket! Ga pake lama! Kita harus ke Palagan sekarang!" Seruku sembari kembali ke dapur, mematikan kompor dan kembali ke lantai 1 meraih jaketku di sandaran sofa ruang tamu dan kunci motorku di meja ruang tamu.

Yang lain segera mengikuti perintahku. 5 menit kemudian, kami sudah siap di Palagan, menemui Pak Rizki di salah satu sisi taman. Jenazah Diandra tergantung di salah satu pohon disana. Awalnya tak terlihat walaupun dibalik dinding pagar bagian situ adalah tempat kami memarkirkan motor. Mungkin karena saking rimbunnya pepohonan di sisi situ.

Saat melihat jenazah Diandra di situ, seketika terdengar suara sesuatu jatuh.

Gubrak!

Kami sontak menoleh ke belakang dan terlihat seorang pemuda terduduk di rumput belakang kami, menopang tubuh Diana. Rian menyerukan nama Diana dan menghampiri pemuda itu.

Fajar langsung mendahului Rian dan meminta tubuh Diana dari si pemuda, dan dia pun menyerahkan Diana pada Fajar.

"Pingsan, pak!" Seru Fajar pada pak Rizki, melaporkan kondisi si gadis detektif. Aku pun dengan segera menghampiri Fajar dan membantunya membopong tubuh Diana ke semacam gazebo dan membaringkannya disitu, dengan Rian memangku kepala Diana.

"Aduhh...." Aku mendengar Pak Rizki menghela nafas dari belakangku.

"Kita bisa mulai tanpa Diana, pak?" Tawar Vian, yang kuduga bakal ditolak oleh pak Rizki. Dan sesuai dugaanku, pak Rizki menolaknya.

"Tidak bisa, Vian. Kita harus memulai bersama Diana juga." Ucap pak Rizki.

Setelah sekitar 30 menit, Diana pun tersadar. Namun, kami tidak sadar bahwa pemuda yang tadi menangkap Diana sudah menghilang.

.

.

.

.

Setelah itu, kami segera kembali ke lokasi jenazah Dian ditemukan. Ananta sudah disana lebih dulu selagi kami menunggui Diana tersadar.

"Gimana, Ta?" Aku tanpa ba bi bu langsung melesat menghampiri Ananta, salah satu anggota tim penyidik saat sampai di sana.

"Singkatnya, korban sepertinya diperk**a sebelum akhirnya mengalami hal yang sama seperti korban pertama, yaitu kepalanya dihantam sesuatu yang keras dan lagi - lagi...." Ananta menjeda kalimat terakhir dari jawabannya.

"Sepertinya benda basah..." Lanjutnya.

"Benda keras, basah...." Rey tampak berpikir keras.

"Kayak es batu?" Tanya Roy mengeluarkan apapun yang terpikir oleh kepalanya.

"Tapi emang iya? Kan bisa aja jelly super keras gitu," Ayuba agak meragukan dugaan Roy.

Sementara itu, aku, Diana, dan Vian sudah lepas menghampiri lokasi dimana jenazah Dian ditemukan.

"Bentar..." Aku menginterupsi perdebatan Ayuba dan Roy.

"Ada bekas genangan air yang sama kayak waktu Ai ditemukan disini!" Ujar Diana seakan melanjutkan kataku.

"Berarti kemungkinan pelaku kasus Ai dan Dian ini orang yang sama." Vian juga ikut berpendapat.

"Belum tentu." Celetuk pak Rizki dari belakang kami. "Jangan terlalu antusias dulu kalian semua. Ini sepertinya bukan kasus yang bisa kita sepelekan. Hati - hati. Jika memang akan ada korban selanjutnya, jangan sampai ada korban tewas lagi." Lanjutnya.

"Tapi, bagaimana solusinya, pak? Kita gak mungkin berjaga sepanjang waktu, kan?" Tanyaku. Permintaan pak Rizki biasanya memang selalu logis, sehingga, kini, aku, Vian dan Fajar bertanya - tanya. Sepanik apakah pak Rizki sekarang, hingga pikiran logisnya menghilang? Bahkan kami bertiga meragukan apakah yang di depan kami ini benar - benar pak Rizki?

"Pokoknya, saya mau, minimal kalian semua saling menjaga. Itu saja dulu, sudah cukup untuk sekarang." Setelah itu, pak Rizki mengisyaratkan untuk segera menangani jenazah Dian dan langsung bubar jika sudah beres.

Sesampainya kami kembali ke rumahku, Rian mendapat kabar, yang entah baik atau buruk. Adik angkatnya, Rendira Susanti rupanya lepas saat malam pembunuhan Dian. Dia masih 16 tahun. Di Ambarawa dalam rangka liburan kelulusan. Baru saja dia lulus SMP. Pagi tadi, saat neneknya bertanya, dia semalam di mana, dia menjawab bahwa dia diajak temannya ke Palagan. Saat itulah....

"Ren bilang dia lihat kejadiannya...." Ucap Rian mengakhiri ceritanya. 

"Sekarang dia dimana, Rian?" Tanya Ananta.

"Masih di rumah nenek, di dekat makam Kerkof. Karena dia kemungkinan ketahuan oleh pelaku semalam, gimana kalau sore ini kita jemput dia? Biar kita bisa jaga dia, firasatku engga enak soalnya..." Aku menyadari bahwa di titik ini, Rian gemetaran? Rian yang suka bercanda? Rian yang selalu kelihatan tegar?

"Oke. Sore ini. Bisa hubungi dia sekarang buat siap - siap? Kemungkinan dia bakal nginep juga." Ujar Ananta.

"Siap!" Mendadak, Rian kembali ceria sembari menyambar ponselnya dan mulai asyik chatting dengan adik angkatnya itu.

"Dia memang sedekat itu ya, sama adiknya?" Bisikku pada Diana.

"Mereka kan cuma kakak adik angkat, engga ada hubungan darah. Tapi, walaupun beda 5 tahun, Rian dan Ren yang kulihat selama ini lebih mirip sahabat daripada kakak adik." Jawab Diana. 

Sorenya, Rian dan Ananta menjemput Ren. Sekarang, lihat, rumahku akhirnya ramai...

Yah, saat itu aku berpikir demikian, tanpa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya....

To Be Continued....

Akhirnya setelah sekian lama.... 

Terlupakan ga sih? Engga, deng, Mamien cuma lupa beberapa karakter, sampe pratinjau semua bab yang udh di publish cuma gara - gara nama Adrian. Adrian siapa?? Mamien pikir pas tiba - tiba liat namanya di draf. Lupa soalnya....

Dibalik Es Itu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang