Hari ini matahari begitu terik menyinari bumi Surabaya. Hawa panas menyelimuti tubuh, seolah ingin mendidihkan keringat. Kiran berjalan menuju kantin untuk sekadar membeli sebotol teh pucuk dingin agar tenggorokannya tidak kering kerontang. Terlihat orang-orang juga sedang ramai mengerubungi salah satu warung yang ada di kantin seperti bocah SD untuk membeli es cekek yang harganya lebih murah dan es batunya lebih banyak. Tidak heran, karena hari ini Surabaya memang sedang panas-panasnya.
"Kiran," sapa seseorang yang berpapasan dengannya.
"Eh, ya."
Cukup banyak orang yang dia kenal sedang berada di kantin ini salah satunya orang tadi dan juga tiga cowok yang nampak lesu. Mereka baru saja datang dan langsung mendudukan diri di salah satu meja yang masing kosong. Kiran pun mendekat dan seketika itu juga maniknya bertemu tatap dengan Dihyan.
"Kenapa, Kak?"
Tak langsung menjawab, Dihyan masih membenturkan sorotannya pada Kiran seolah ingin menyalurkan suatu hal tersirat akan tetapi urung dia menjawab, Janied sudah berujar lebih dulu.
"Motornya Tirta ilang."
"Lah, kok, bisa?" Kiran memutuskan kontak mata dan mengalihkan perhatian pada Janied lalu Tirta.
"Tadi pas ngeprint proposal. Eh, kuncinya aku lupa cabut. Ya udah, tuh, dibawa orang. Mana di dalem jok ada almamaternya," sahut Tirta dengan nada lemas sembari mengusap wajahnya yang berkeringat.
Mendengar itu, Kiran seolah ikut khawatir. Akhir-akhir ini memang dia sering mendengar ada beberapa kasus pencurian motor yang terjadi di area kampus dan pemukimannya. Jika teledor sedikit maka orang-orang yang tidak bertanggung-jawab itu pasti akan dengan mudah untuk terus mencuri.
"Terus gimana?"
Tak mendapatkan jawaban dari Tirta, akhirnya Janied lah yang berujar sambil menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. "Udah minta tolong, kok. Tinggal nunggu aja, semoga cepet ketemu."
Kiran mengerti, kehilangan kendaraan adalah salah satu hal paling sial yang bisa dialami mahasiswa selain kehilangan dompet. Mereka yang mengalami hanya bisa pasrah dan berusaha ikhlas jika yang hilang itu memang tidak bisa ditemukan. Beruntung, dia belum pernah mengalaminya dan semoga saja tidak akan pernah.
Kini dilihatnya Tirta benar-benar kalut bahkan sampai meneteskan air mata. Ya, pastinya sesedih itu, apalagi yang hilang bukan hanya motor tapi juga almamater.
"Kiran." Kiran menoleh saat Dihyan tiba-tiba menginterupsinya.
"Hm?"
"Ayo."
"Ke mana?"
"Makan."
Seketika Kiran mengerutkan keningnya heran. Bisa-bisanya dalam keadaan mengkhawatirkan seperti ini, Dihyan masih begitu santai mengajaknya makan. Bukannya apa-apa, tapi Tirta sahabatnya Dihyan. Apa cowok itu tidak ikut mencemaskan kesusahan sahabatnya sendiri?
Kemarin memang Dihyan mengajaknya untuk pergi makan bakso di dekat terminal, tetapi Kiran pikir itu akan dibatalkan. Lagipula sekarang sudah di kantin, kenapa tidak langsung makan saja?
"Tapi-"
"Nied, Tir... aku pergi dulu bentar."
"Iya, Yan."
Ha? Kenapa kedua cowok itu tidak protes? Tangannya lantas ditarik tanpa basa-basi oleh Dihyan.
"Kak Tirta lagi sedih gitu, kok, malah ditinggal?"
"Biarin dulu."
"Ish, gak setia kawan."
Kadang memang tidak habis pikir Dihyan yang selalu rambang, tapi ya sudah. Kiran pun menurut saat disuruh untuk menaiki motor cowok itu. Lalu mereka pergi menerobos terik matahari yang sudah seperti ingin membakar kulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi Garis Tangan | Selesai
Roman pour AdolescentsHanya seseorang yang ingin tenang tanpa mengharapkan apapun. [Family, Brothership] ©2023