Masih pemula

5 1 3
                                    

Ah...

Malam itu, aku duduk di kamar, merenungi buku-buku yang berserakan di atas meja. Rasanya berat sekali. Nilai-nilaiku belakangan ini... di bawah KKM semua, kecuali Fisika dan Sejarah. Aku sudah berusaha keras, tapi masih tertinggal jauh dari teman-teman. Mereka semua ikut bimbingan belajar, sementara aku harus belajar sendiri di rumah. Orang tua melarangku ikut bimbel, katanya uangnya tidak ada. Dan yah, aku juga paham sih... Jadi anak dari Kalimantan yang sekarang belajar di Jogja itu nggak gampang. Butuh waktu untuk bisa menyesuaikan diri. Tapi, kadang aku nggak bisa menahan rasa pesimis ini.

Keesokan harinya di sekolah, setelah ulangan harian Kimia yang sulit itu, aku keluar kelas dan berdiri di balkon lantai dua, menghela napas panjang. Tangan kananku menggenggam Chocolatos keju, kudekatkan ke bibir seolah merokok, lalu menggigitnya perlahan. Rasanya pahit—mungkin bukan karena keju, tapi karena pikiranku sendiri. Aku nggak paham sama sekali soal Kimia. Di SMP di Kalimantan dulu, kami bahkan nggak diajarin Kimia.

Tiba-tiba Juna datang menghampiriku. Dia melihat wajah lesuku dan mencoba menghibur. "Santai aja, Run. Aku juga nggak berharap nilai Kimia bakal bagus-bagus amat. Yang penting pas-pasan aja."

Aku tertawa kecil. "Iya ya... kita emang payah di Kimia." Rasanya, walau sekilas, sedikit lebih ringan setelah mendengar lelucon Juna.

Aku melirik ke bawah, ke arah kolam, dan melihat Layla serta Sheila sedang mengobrol santai. Mata Juna ikut menyorot ke arah mereka, lalu dia bertanya, "Udah nembak Layla belum?"

Aku menggeleng sambil tersenyum kecut. "Nggak tau juga, Jun. Situasinya... ya, nggak jelas gitu."

Bel untuk pelajaran berikutnya berbunyi. Juna melambai dan bilang dia mau balik ke kelas. Sheila yang sekelas dengan Juna juga mulai menuju kelasnya. Saat Juna mulai berjalan menjauh, tiba-tiba ide jahil muncul di benakku. Aku berteriak, "Sheila! Juna nyariin kamu!"

Ada teriakan kaget, "WOY!" dan ternyata itu dari Juna yang langsung berbalik dengan wajah malu. Dia menghampiriku dan mengomel pelan, "Kamu jangan gitu ah..." Aku tertawa kecil dan mengisyaratkan dia untuk kembali ke kelasnya.

Tak lama kemudian, Layla naik ke lantai dua. Dia menyapaku dengan senyum khasnya dan berkata, "Keren kali Anda."

Aku hanya bisa tersenyum, mungkin sedikit lebih lega dari sebelumnya.

RYOIKI (Cerita Anak Rantau)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang