Ambigu dan canggung

3 0 0
                                    

Sudah cukup lama aku berada di kelas 10 SMA ini, tapi semakin hari rasanya aku semakin terasing. Ada istilah yang baru kukenal: "sirkel." Orang-orang di kelas sudah punya kelompok masing-masing, dan aku merasa seperti terjebak di pinggir lingkaran itu, nggak benar-benar masuk ke dalamnya.

Belakangan ini teman-teman mulai menghindariku. Semua orang sibuk mempersiapkan proyek P5 dan kegiatan kemah sekolah. Sementara itu, aku malah bingung harus bergabung di divisi mana. Ada divisi makanan, divisi permainan tradisional, dan divisi perlengkapan, tapi aku belum jelas akan masuk yang mana. Entah kenapa, bukannya membantu, mereka malah seolah membebani. Di grup kelas, mereka sudah mulai membicarakan peralatan kemah yang harus dibeli, dan aku merasa terpaksa ikut membeli beberapa barang. Padahal, uang sakuku akhir-akhir ini mulai menipis.

Pagi itu, aku memutuskan untuk menggadaikan jam tangan yang selama ini sering kupakai, juga beberapa lukisan kecil buatanku. Aku nggak punya pilihan lain—aku butuh uang untuk membeli peralatan kemah, atau aku bakal dianggap nggak kontribusi sama sekali di kelompok. Setelah selesai dengan urusan gadai, aku langsung bergegas ke sekolah, membawa barang-barang yang bakal dipakai untuk kemah nanti.

Di sekolah, kebetulan lagi ada pembagian tiket untuk acara teater sekolah yang katanya bakal seru. Saat aku ikut nimbrung di antrean, aku melihat Layla dan Juna sudah di sana, sibuk mengobrol dan tertawa. “Wih, antusias banget ya kalian nonton teater?” tanyaku, mencoba bercanda.

"Iya lah, Run, sekali-sekali kan seru juga," jawab Layla sambil tersenyum.

Juna ikut menimpali, "Kamu beli juga, kan? Jangan sampe ketinggalan!"

Aku tertawa kecil, meski di dalam hati terasa perih. "Ah, liat nanti aja deh. Pikir-pikir dulu," kataku sambil nyengir, berusaha menutupi keadaan sebenarnya. Aku tahu mereka nggak tahu betapa sulitnya bagiku untuk sekadar membeli tiket ini, setelah uangku habis buat urusan kemah.

Setelah basa-basi sebentar, aku melangkah pergi. Tanpa pamit ke mereka, aku memutuskan untuk pulang lebih awal, mencoba menjauh dari semua kesibukan ini. Di perjalanan pulang, aku merasa semakin terasing, dan dalam hati bertanya-tanya: kapan aku bisa benar-benar merasa diterima di sini?

RYOIKI (Cerita Anak Rantau)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang