KENDURI #3 (Part 1 )

4 2 0
                                    

Subuh itu udara masih dingin menusuk, tapi aku sudah berkutat dengan tas besar di pojok kamar, memastikan semua barang untuk kemah nggak ada yang tertinggal. Tenda, perlengkapan makan, baju ganti, dan beberapa camilan kubawa untuk jaga-jaga. Sekali lagi kuhitung isinya, mencoba meredakan rasa cemas di dada. Tidur semalam pun rasanya cuma sebentar—entah karena senang atau... sebenarnya nggak yakin juga, mungkin lebih ke rasa asing.

Pagi-pagi sekali aku sudah di sekolah. Kusimpan semua barang di pojokan kelas. Di lapangan, semua orang sudah mulai berkumpul untuk upacara pembukaan. Pembina upacara berdiri dengan bangga, menjelaskan jadwal kemah, dan kepala sekolah memberikan sedikit wejangan. Seharusnya, momen ini jadi sesuatu yang seru, sesuatu yang bisa bikin excited. Tapi entah kenapa, aku merasa sendiri di tengah riuh orang-orang ini.

Tepat jam 10, kami mulai menaiki bis kecil yang bakal membawa kami ke bumi perkemahan di Kulon Progo. Bisnya, jujur, jauh dari kata nyaman. Panas, nggak ada AC, dan kursi-kursinya sudah terlihat lelah. Bau plastik dan keringat perlahan memenuhi udara. Aku langsung ke kursi depan, di samping Pak Supir, dekat pintu bis. Setidaknya, bisa sedikit merasakan angin dari jendela.

Begitu duduk, kupasang headset dan memutar lagu "Story of My Life" dari One Direction. Gitar mengalun lembut di telinga, seolah jadi teman perjalanan yang diam-diam memahamiku.

"The story of my life, I take her home... I drive all night to keep her warm and time is frozen..."

Lirik itu mengalun, hampir membuatku tenggelam dalam perasaan kosong di dada. Rasanya cocok saja, menggambarkan rasa kehilangan arah yang selama ini aku sembunyikan.

Jalanan semakin menanjak, dan pemandangan pun berubah. Kami mulai meninggalkan kota dan masuk ke wilayah pegunungan. Asap knalpot bercampur dengan aroma segar pohon-pohon besar yang mulai memenuhi pandangan. Bis kecil ini bergoyang mengikuti jalan berkelok, dan aku bisa merasakan desiran angin dingin masuk melalui celah jendela, sedikit menyejukkan. Di luar, hamparan hijau mulai menyelimuti, seolah hutan ini menyambut kedatangan kami dengan tangan terbuka.

Matahari tersangkut di antara rimbunnya dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak pelan di tanah. Dalam keteduhan hutan ini, dengan suara burung-burung di kejauhan, aku merasa seakan tersedot ke dalam keheningan yang asing. Lagu "Story of My Life" masih berputar, membawaku ke dalam sebuah momen di mana waktu serasa membeku.

Saat itu, aku tersadar, perjalanan ini bukan cuma tentang berangkat ke kemah. Bukan tentang tenda, perlengkapan, atau rencana kegiatan yang sudah diatur sedemikian rupa. Perjalanan ini, entah bagaimana, terasa seperti perjalanan untuk menemukan tempatku di dunia. Mungkin bukan hari ini, bukan saat ini. Tapi, di antara pepohonan, di atas jalan berkelok ini, kurasakan sebuah harapan kecil—seperti angin dingin yang menyelip masuk ke dalam bis tua ini, yang seolah berbisik, "Kamu nggak sendirian."

Begitu bis berhenti, aku turun dan menghirup udara segar perkemahan. Di sekelilingku, teman-teman langsung sibuk berlarian dengan wajah ceria, saling panggil-memanggil, dan tawa riang memenuhi udara. Rasa semangat kemah terasa kuat dari mereka... tapi, entahlah, aku merasa tidak terhubung dengan energi itu.

Setelah menatap sekitar sebentar, aku memutuskan mencari teman-teman sekelas yang sudah mulai berkumpul di area tenda. Aku bergabung dengan mereka, mengangkat terpal dan membangun kerangka tenda bersama. Kami bekerja sama, menyelipkan tali dan memastikan tenda berdiri kokoh. Cukup melelahkan, tapi setidaknya ada rasa lega saat tenda akhirnya selesai berdiri tegak.

Saat kami mengecek barang-barang yang kami bawa, tiba-tiba terlintas di pikiranku: charger HP-ku ketinggalan di rumah! Rasanya seperti mimpi buruk kecil yang diam-diam membuat jantungku berdebar. Segera kuambil HP-ku, membuka WhatsApp, dan mengetik cepat pesan pada orangtuaku.

RYOIKI (Cerita Anak Rantau)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang