Selama ini bibinya selalu mengirimkan uang meski menolak bibi tetap bersikeras untuk memberikan uang itu dengan alasan sebagai ibu tapi fasya selalu merasa tak enak dan untuk semua kebutuhan nya seperti makanan, minuman, sabun, dan perlengkapan wanita selalu terpenuhi dari Raga. Kadang Fasya merasa dirinya sangat tak berguna ia berjanji setelah lulus ia akan bekerja dan membayar semua biaya yg di keluarkan bibi, dan raga untuknya.
Sudah seminggu lebih teror itu sudah berhenti membuat fasya merasa lega, pikirnya andre sudah bosan karna tak mendapat tanggapan.
Hari rabu lalu fasya telah melakukan Rontgen dan hari ini akan keluar hasilnya. Ia mengambil antrian nomor 4 dan kini giliran nya masuk.
"Fasya Aditama." Panggil perawat, fasya masuk dan duduk di depan dokter di belakangnya ad 2 dokter magang yg memegang catatan.
"Bagaimana akhir-akhir ini apa keluhannya?." Tanya dokter mahesa melihat hasilnya, sebenarnya kemarin malam ia sudah melihat hasilnya.
"Em, sering sakit dok." Ucap fasya, semoga saja ini semua baik-baik saja jujur dirinya tak sanggup mendengar penuturan dokter.
"Dari hasilnya sepertinya kita harus melakukan operasi sesegera mungkin karna jika di biarkan maka akan sangat fatal nantinya." Jelas Mahesa menatap Fasya yg tak berani menatapnya, bahkan fasya tak mengenali suara dan mata coklat raga.
"Em baik dokter akan saya pikirkan." Ucap Fasya.
"Baiklah." Fasya keluar.
Kenapa dokter Mahesa seakan tak akrab dengan gadis itu dan gadis itu pun biasa-biasa saja, pasti ad yg tidak beres. Batin luna curiga dan bisa saja ia mengambil kesempatan kali ini.
"Dok apa anda baik-baik saja?." Tanya Uni saat melihat raga menyandarkan tubuhnya lesu.
"Iya, panggil pasien berikutnya." Raga benar lelah tapi inilah pekerjaan nya iya tak toleh lengah.
°°°°°°
Sepulang dari rumah sakit fasya ke makam ibunya disana ia mencurahkan semua unek-unek nya.
"Buu meski fasya gk bisa liat ibu fasya yakin ibu pasti sayang sama fasya. Maafkan fasya bu karna fasya ibu udah gk ad ayah benci sama fasya, fasya jadi bebannya bibi sama ka raga fasya gk guna buu....hiks...." Air mata fasya terus mengalir di atas gundukan tanah itu.
"Bu fasya anak yg gk guna bu fasya mau ketemu ibu aja fasya cape. Bahkan tuhan aja benci sama fasya, fasya penyakitan fasya gk pantes hidup bu."
"Hiks....gk punya keluarga ayah udah jual aku bu buat apa lagi fasya hidup." Teriaknya histeris di tengah terik matahari fasya menangis hingga ia tertidur.
Hujan turun saat sore hari membuat fasya terbangun dan pergi dari sana ia menyusuri jalan di tengah hujan membuat orang heran melihatnya hingga ia sampai di rumah ia masuk ke wc mengguyur tubuhnya dengan air dingin.
Setelah mandi fasya memakai pakaiannya dan naik ke kamar ia merebahkan tubuhnya lalu terlelap.
Dilain tempat raga baru saja selesai melakukan operasi dan bersiap untuk pulang namun tiba-tiba ia teringat kalau dari tadi ia tidak tau apa fasya pulang dengan selamat atau tidak.
Nomor yg anda tuju sedang tidak aktif suara operator ponsel membuat raga kalang kabut bagaiman jika, terjadi sesuatu pada gadis itu, tak menunggu waktu raga melajukan mobilnya di tengah hujan yg dari sore hingga 10 malam ini masi mengguyur kota itu pikiran hanya tertuju pada gadis itu.
Raga membuka pintu dan menemukan rumah itu gelap ia pun berlari ke dapur ruang ganti, dan wc dan tidak menemukan fasya. Ia naik ke kamar dan bernafas lega saat melihat fasya yg tertidur.
"Fasya?." Raga mendekat dan duduk di samping fasya namu tak mendapatkan gubris, raga membalik tubuh fasya agar terlentang namun saat mengenai kulit raga merasakan tubuh fasya demam dan sekali lagi mengecek ternyata benar fasya demam tinggi bibir pucat dan gemetar.
"Fasya bangun minum obat dulu, hmm." Bujuk raga, namun fasya enggan membuka matanya ia memeluk erat selimut mencari kehangatan.
"Akh sial bisanya gue lupa sama loh, maaf." Kesal raga pada dirinya sendiri karna tidak becus menjaga fasya.
"Syaa bangun minum obat dulu yah."
"Fasya.."
"Faa...."
Dari Tadi Fasya enggan menjawab membuat raga frustasi dengan cepat ia mengambil obat di laci dan memasukkan paksa ke mulut fasya dan raga meminum air lalu menyalurkan nya pada fasya melalui bibir, fasya meneguk habis air dari raga. Benda kenyal itu seakan menghipnotis raga ia melumat bibir pucat fasya namun yg di cium tak menggerakkan bibirnya membuat raga kesal dan mengigit bibir fasya.
"Emhh." Leguh fasya membuka bibirnya dan raga langsung mengakses semua yg ad di dalam mulut fasya yang tertidur pulas sadar akan nafsu yg mulai menguasainya raga melepas pangutannya dan mengecup kedua mata gadis itu yg tertutup rapat.
"Maaf." Lirihnya lalu bangkit dan turun ke bawa untuk membersihkan tubuhnya karna ia pulang dari rumah sakit dan langsung ke sini.
Sekitar 20 menit raga selesai dengan aktifitasnya, ia memaki kaos putih dengan celana pendek hitam lalu ke atas.
"Shhh...shh." rintihan fasya membuat raga mempercepat langkahnya menuju kamar raga melihat fasya tak bisa tenang iapun mendekat.
"Kenapa hmm? Apa yang sakit? Pusing?." Tanya lembut sambil ikut merebahkan tubuhnya di samping fasya.
"Hiks...ssakit." racau fasya menggeliat sambil memukul-mukul dadanya, raga melihat itu panik dan langsung memegang tangan fasya yg makin lama makin keras memukul buah dadanya.
Raga menyibak baju kaos Fasya dan ternyata gadis itu memakai bra dan terlihat ketat, dengan pelan raga membuka menelusupkan tangannya ke belakang punggung fasya membuat fasya membusungkan dadanya naik karna kesakitan dan sesak setelah berhasil raga melepas talinya dari lengan dan membuang asal bra itu ke lantai. Tangan fasya langsung meremas payudaranya dengan kuat karna tak kuasa menahan sakit bahkan air matanya mengalir dalam keadaan tertidur.
"Fasya ngk nanti makin sakita" raga mencoba melepasnya namun fasya kembali meremasnya, sesakit itukah sampai-sampai gadis itu menangis dalam tidurnya apakah bunga ibunya dulu merasakan sakit luar biasa itu raga melepas kasar tangan fasya dan menggantikan tangannya. Tangan kekar itu sangat pas menggenggam buah dada fasya kali ini raga meremas dan memijatnya pelan sesuai anjuran dokter tak lama fasya akhirnya bisa tenang.
Lama kelamaan raga terus meremas dan silih berganti kanan dan kiri rasa khawatirnya kini terganti dengan nafsu melihat wajah tenang fasya yang tak terganggu dengan aktifitasnya membuatnya semakin kalap benda itu seakan menantang untuk terus di genggam namun raga bisa mengontrol dirinya merasa puas raga melepas tangannya dan mendekatkan wajahnya ke dua gunung kembar milik fasya memberi tanda kepemilikan di sana ad sekitar 6 yang ia buat lalu ia memandang nya dan terkekeh geli dengan kekakuannya gadis 18 tahun bisa membuatnya hilang akal seperti ini, tersenyum bangga melihat karyanya setelah itu ia memperbaiki posisi baju fasya dan ia duduk dan membuka kaosnya sebenarnya raga selalu tidur dengan telanjang dada dan sangat tak suka jika harus memakai kaos. Ia perlahan masuk kedalam selimut dan mendusel di cekuk leher fasya yg hangat merasa gemas raga membuat tanda kepemilikan lagi sekitar 3 tanda di sana membuat kulit putih fasya kontras dengan ruam berwarna merah keunguan itu.
°°°°°
Huahhh
Tolong ini kenapa jadi gini yakh hehe maaf tapi emang gitu....
Kalau suka lanjut kalau gk boleh dipikir lagi seru loh hehehe
Salam dari author
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctors Rules
FanfictionMahesa raga Wardana, di kenal dengan dokter Mahesa namun nama panggilannya adalah raga, berusia 25 tahun. "Pasien 12 atas nama Fasya Aditama!." panggil uni perawat yang bertugas membantu Raga. "Saya suster." Gadis cantik dengan rambut panjang terlih...