Chapter 1

227 14 2
                                    

Suara tangisan wanita setengah abad ditemani kedua putranya mengisi kamar VIP dirumah sakit elit di Bali. Kini ibu tiga anak itu, benar-benar ditimpa kemalangan.

Dia mendapat laporan kalau Putri bungsunya yang berusia 15 tahun, sedang koma akibat mendapat bully-an dari teman sebayanya, dan itu tidak sekali dua kali. Pada study tour kemarin, dia baru mentruasi pertama kali, akhirnya bully-an itu terjadi.

Bila putrinya tidak segera membaik, dia tidak segan untuk membawannya keluar negeri. Dia kira asrama tempat putrinya tinggal selama ini adalah tempat terbaik dengan segala fasilitas yang serba ada, lingkungan dengan rata-rata kelas atas, serta perhatian yang banyak.

"Mah, sabar, kata dokter adek bentar lagi siuman," ucap putra pertamanya, Gibran.

Kata-kata itu sekarang tidak berarti, perasaan mamanya tidak bisa digambarkan.

Mamanya cuma terdiam sambil sibuk mengelus-elus tangan putrinya dan memanjatkan doa.

Karlina menyesal. Dia tidak tahu jika putrinya berakhir seperti ini. Flara yang dulunya ceria, kini menjadi pendiam padanya, dan tidak banyak bicara, sejak dia cerai dengan laki-laki yang dia temui sebagai karyawannya. Flara menjadi jarang berkumpul bersama. Jika ada acara keluarga, dia akan menolak dan memilih mengasingkan diri atau ke rumah nenek.

Karlina telah membujuk putrinya, menyayangi dia melebihi kedua kakaknya. Namun, dia merasa senyuman tulus yang diberikan putrinya palsu. Sorot matanya tajam seakan mempunyai sesuatu yang dipendam. Memutuskan untuk mengirim Flara ke asrama tindakan terakhirnya. Tujuannya agar dia bisa tersenyum ceria dikelilingi oleh teman sebayanya. Dia tidak lagi mencampuri urusannya, bahkan telpon Flara yang akhir-akhir ini selalu dia rindukan. Lagi-lagi dia melakukan kesalahan, dia gagal memahami dan mengerti perasaan putrinya.

Sensan, suami Karlina.

5 tahun yang lalu adalah peristiwa yang cukup mengoyak hati. Malam hari bersama wanita muda yang sedang hamil, Sensan datang dengan surat cerai. Karlina marah dan memberontak. Mereka bertiga bertengkar. Sensan mengemasi barang-barangnya. Dan Dia baru tahu, seminggu kemudian bahwa harta gono-gini Karlina yang telah dibagi dua, dan atas usul Sensan, dijual.

5 jam lamanya tidak ada perkembangan.

"Dek, bangun. Kali ini lihatlah ketulusan mama," batin Gibran. Dia tidak berhenti berdoa, dan mengelus punggung Karlina yang sedang terpuruk. Dia sudah tidak bisa berfikir lagi, rasanya frustasi melihat keluarganya seperti ini.

Tidak kurang, Hasan-putra kedua Karlina. Menyatakan hal yang sama.

"Kita semua bersamamu dek, bangun.... Apa kamu benar-benar tidak rindu mama? Dek, jangan bikin mama terpuruk seperti waktu itu."

+++

"Ayah..."

Suara lirih menyapa telinga mereka.

"Ayah...."

"Flara!" ucap Gibran kaget melihat adiknya Flara mengerjap-ngerjap menyesuaikan cahaya lampu kamar.

Tentu sang mama terkesiap, "sayang," ucapnya dan menekan tombol memangil dokter diatas ranjang.

"Minum," ucap Flara minta minum sambil meneguk salivanya yang kering.

Mamanya berteriak, "minum, bang, adek minta minum."

"Ini dek," kata Hasan membawa segelas air.

"Bangun dulu," perintah mama.

Gibran membantu Flara mendudukkannya perlahan.

"Kamu ada yang sakit?" tanya Hasan kepada Flara dan langsung beralih ke mama, "Mah langsung dipanggilkan dokter aja, ya? Takutnya lama."

"Iya, ya, cepat," ucap mama.

"Kalian siapa?" kata Flara, dia membaca situasi. Melihat ketiga orang menghawatirkannya. Dia tidak mengenal mereka.

Karlina, Gibran dan Hasan yang hendak pergi saling memandang.
Setelah itu, Gibran memerintahkan Hasan untuk segera memangil dokter.

"Ini mama," ucap Karlina.

"Kamu bukan mamaku."

Deg.

"Maafkan mama sayang, kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi, ya? Mama akan pindahkan kamu ke sekolah yang lebih bagus. Mama ... akan lebih mengerti kepadamu," ucap Karlina sambil terisak menyesal.

"Tapi aku tidak mengingatmu, siapa kamu yang mengaku-ngaku mamaku."

"Flara! Jaga bicara kamu, kita keluarga. Jangan kelewatan batas!" teriak Gibran dengan nada tinggi.

Flara merasa terbentak, dan dimarahi. Dia mulai berpikir keras untuk mengingat. Namun, semakin berusaha mengingat. Dia malah merasakan kepalanya sakit, telinganya berdenging, dan sesak nafas. Dia mengeram kesakitan dan sesekali memukul bagian tubuh yang sakit.

"Aku tidak bisa mengingat," kata Flara dengan susah payah serta frustasi.

Karlina dan Gibran yang melihat itu berusaha menghentikan tindakan Flara. Lantas Gibran segera menyusul untuk memangil dokter. Belum saja membuka pintu dokter beserta perawat datang.

"Dok, adek saya memukul-mukul kepalanya dan tidak ingat kami. Ada apa?" tanya Gibran menjelaskan situasinya.

"Baiklah, kalian tunggu didepan, kami akan memeriksanya."

Gibran dan Hasan membawa mamanya keluar agar Flara diperiksa dokter.

Flara makin memberontak dan berulang kali memukul-mukul bagian tubuhnya, disela-sela dokter mengajukan pertanyaan. Akhirnya, Flara dibius untuk tidur agar tenang.

Setelah dokter memeriksa keadaan Flara. Dia keluar kamar dan memberitahu bahwa Flara harus diawasi dulu selama beberapa hari untuk mengetahui kelanjutannya. Apakah mengalami amnesia sementara, atau trauma.

Karlina memasuki kamar Flara sementara Gibran dan Hasan diluar. Mereka bertiga dalam keadaan kalut, menatap sendu kamar flara, dan merasa prihatin. Tidak menyangka hal ini terjadi pada mereka.

FlaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang