Minho berdiri tercengang melihat tubuh jiyeon yang berkali-kali ditempa oleh alat pemacu jantung oleh dokter Lee. Bibirnya tak henti-hentinya bergeming menahan kata-kata yang ia ingin ucapkan. Pelunya terus menetes mengalir dari dahinya, bunga mawar yang ada digenggamannya kini sudah jatuh terbanting ke tanah. Beberapa kelopaknya terlepas, jiyeon berusaha memunguti dan menyatukan kelopak bunga itu. Tapi saying ia bahkan tak bisa meraihnya, ia berulang kali meratapi tangannya yang terkesan transparan. Ia segera berdiri dari tempatnya, rambutnya yang terurai tersibak lembut oleh aliran angin yang berasal dari jendela dihadapannya. Matanya membulat, pupil matanya mengecil berusaha memfokuskan objek apa yang ia lihat. Ia tak mempercayai ia dapat melihat dirinya sendiri berbaring diranjang dengan banyak selang yang mengitari tubuhnya. sesekali ia melirik ke cermin yang ada dihadapannya memastikan seseorang yang berbaring diranjang adalah dirinya.
Kini ia memandangi minho yang tengah menahan air mata dipelupuk matanya agar tak terjatuh membasahi pipinya. Jiyeon heran mengapa minho terlihat semengerikan itu, ini adalah kali pertama jiyeon melihat minho menangis.
“mengerikan !” geming jiyeon dengan butiran air mata yang mulai menyembul keluar di ekor matanya.
“wae ? kenapa kau menangis ? hentikan ! aku tidak suka !” bentak jiyeon seraya mencoba mendorong kuat tubuh minho yang ada dihadapannya. Tapi jiyeon tak putus asa ia terus mencoba menggoncangkan tubuh minho. Alhasil ia yang malah jatuh terdorong pantulan energi yang ia lakukan sendiri. Ia jatuh dihadapan kelopak bunga mawar yang ia coba pungut tadi. Air matanya mengalir deras, membasahi sekujur wajahnya. Ia memukul mukul tanah dengan tangannya yang kuat mengepal.
“wae-yo ? kenapa mati seperti ini ? saat aku hidup aku tidak takut mati, kenapa saat mati aku merasa sedih. Kenapa meraih seseorang yang kucintai saja sangat susah. Apa yang harus aku lakukan ?” nada bicara jiyeon semakin berat karena merasa kesedihan yang begitu dalam karena telah menyadari kenyataan ia akan pergi meninggalkan minho untuk selamanya.
“ya ! minho ! kenapa kau harus menangis ! kematian adalah takdir ! semua orang pasti akan mati. Dan aku tahu pasti kau sudah mengetahui aku akan segera mati.” Teriak jiyeon yang sama sekali tak minho dengarkan.
“bahkan saat aku bertemu dirimu dikehidupan selanjutnya. Aku tak akan mau menyerahkan hidupku dengan lelaki cengeng sepertimu. Kumohon hentikan tangismu !” jiyeon tak kuat lagi menahan segala beban yang ada dihatinya, baginya melihat seorang yang amat ia sayangi adalah suatu yang sangat mengerikan. Ia lebih baik menggoreskan pisau diseluruh tubuhnya dari pada harus melihat pemandangan ini.
Sinar putih menyala begitu terang dihadapannya, semuanya yang ada disekitar jiyeon kini hanyalah biasan cahaya yang menyebar membentuk suatu gradasi yang menyilaukan. Ia segera berdiri dari posisinya tadi, dan segera menyeka air matanya dengan kedua tangannya. Berkali-kali ia melihat kesekeliling tapi yang ia temukan adalah biasan cahaya putih.
“apa sekarang saatnya ?” tanyanya mencoba mendapat jawaban.
“baiklah. Aku akan pergi.” Ucap jiyeon, dengan langkah kaki tetap ia berjalan mendekati sumber cahaya itu. Berbanding terbalik dengan isi hatinya yang amat sangat ingin kembali keruang inapnya untuk memeluk minho.
“aku sudah dilahirkan untuk mati, Ayah ibuku, bahkan tak menginginkanku aku sangat membenci mereka, tapi sekarang aku sadar mereka membuangku karena tak ingin kehilanganku setelahnya. yang kudapat dari kehidupanku hanyalah rasa bahagia bisa mencintai seorang choi minho. Tapi jika Kau ijinkan aku untuk kembali sebentar kedunia, aku berjanji akan menghapuskan air matanya. Aku tidak ingin hidup sebagai kesedihan didalam hidup seseorang, cukup diriku saja yang menyedihkan.” Geming jiyeon yang mengiringi setiap jengkal langkah kakinya.
Sampai akhirnya ia berhenti di ujung sumber cahaya itu, ia menemukan sebuah pintu berwarna putih yang ia anggap sebagai pintu masuk kedunianya yang baru. Perlahan ia menempatkan telapak tangannya di handle pintu yang berbalut emas itu.