20. Ajining Sarira (2)

117 27 3
                                    

“Yita mau ngobrolin apa sih, sama Sa?”

Latu dan Ulung berakhir di taman rumah sakit, duduk bersisian di sebuah bangku ditemani gemericik dari air mancur kecil di hadapan mereka. Di ujung berbeda, ada juga seorang ibu dengan balita di gendongan, mungkin anak itu rewel, tampak dari selang infus yang terhubung ke tangan kiri anak itu.

“Aku juga nggak tahu. Oh iya Tu, Yita udah bilang kalau ini hari terakhir kalian di sini?”

“Hah?” Latu melotot. “Dia nggak bilang-bilang apa-apa ke aku.”

Ulung mendesah panjang. Rupanya temannya itu benar-benar sedang kacau. “Tadi dia bilang, katanya besok kalian udah harus lanjutin perjalanan, jadi mungkin sekarang dia lagi pamit sama Sarira.”

Latu memajukan bibir beberapa centi, kenapa Yita tak memberitahunya? Padahal ia masih suka di Jogja, setidaknya di sini ia punya teman menyenangkan seperti Jenar dan Sa. “Yah … kita mau pisah, dong?”

Merogoh saku kemeja, Ulung lantas mengangsurkan ponselnya pada Latu. “Aku belum punya nomor kamu loh, Tu. At least, kita masih bisa komunikasi nanti.”

Senyum terbit di bibir perempuan berambut terurai itu. Ia menyambut ponsel Ulung dan mengetikkan beberapa nomor di sana. Setelah selesai, kembali diulurkannya benda pipih ber-case biru pada si empu.

“Lihat!” Ulung menunjukkan layar ponsel pada Latu setelah membubuhkan nama kontak perempuan itu. “Kayak arti nama kamu, Api Jagad.”

Latu terbahak di tempatnya, hingga membungkuk dalam posisi duduk sambil memegangi perut. “Sumpah Lung, harus banget dinamain begitu nomor kontak aku?”

Ulung tidak peduli, memilih mengirim sebuah chat ke nomor Latu agar perempuan itu ikut menyimpan nomornya.

Menyadari smartphone-nya bergetar, segera Latu meraihnya dari dalam sling bag. “Ini kamu, kan? Oke, kalau gitu ….” Beberapa saat Latu sibuk dengan HP, sebelum balas menunjukkan layarnya pada Ulung.

Pangkal alis Ulung tertaut dengan kerutan dalam di dahi. “Pelaut? Kenapa Pelaut?”

“Kata Jenar, nama kamu artinya berlayar. Jadi, nyambung, kan?”

Giliran Ulung yang terbahak, perempuan di sampingnya benar-benar. “Oke-oke, terserah kamu.”

Kembali disimpannya HP ke dalam sling bag, sebelum suara Ulung kembali membuatnya memfokuskan atensi.

“Boleh aku tanya sesuatu? Tapi misal kamu terganggu sama pertanyaan aku, nggak usah dijawab.” Ulung mengubah posisi duduk, sedikit menyerong agar leluasa melihat Latu.
Ketika mendapati perempuan itu mengangguk, ia melanjutkan, “Kenapa kamu memutuskan untuk melakukan … katakanlah pencarian agar bisa kembali? Kalau kamu emang udah nyaman dan mantap sama apa yang kamu yakini sekarang, harusnya ini nggak perlu, persetan sama omongan orang lain, kan? Maaf, Jenar sempat menyinggung itu kemarin dan sedikit banyak buat aku ikut bertanya-tanya.”

Latu mengatupkan bibir rapat, bukannya tak ingin menjawab, ia hanya sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk menanggapi pertanyaan Ulung. “Kalau masalah omongan orang, aku emang nggak peduli, sih. Lagian orang tuaku juga nggak memaksakan apa pun atas aku perihal keyakinan. Mereka malah memberi kebebasan untuk aku menentukan pilihan.

“Kalau dibilang nyaman dan yakin … justru karena aku nggak nyaman dan nggak yakin sama yang sekarang aku jalani makanya aku mau mencari. Aku ngerasa, semuanya terlalu campur aduk di kepala, Lung. Setelah perjalanan ini, aku berharap bisa misah-misahin semuanya dan benar-benar memilih mana yang paling benar, meskipun nggak ada kebenaran yang mutlak.”

EhipassikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang