Chapter 14 CTAR!!! CTAR!!! CTAR!!! CTAR!!!

3.4K 77 19
                                    

Seakan ada semacam lega di wajah Pak Brengos ketika gue mengiyakan permintaannya untuk menghukum dia. Tapi gue nggak punya waktu banyak, klien kedua mereka udah mau tiba. Jadi, gue harus cepet.

Gue menyuruhnya ambil jepitan-jepitan jemuran plastik berwarna warni yang ada di kardus.

Gue tau bapak satu ini tahan banting, jadi gue punya ide buat bikin hukumannya lebih 'seru'. Gue tau dia butuh banget duit dari melacurkan diri, jadi gue punya syarat tambahan buat dia. "Pak, selama gue hukum Bapak, kalau keluar suara apapun dari mulut Bapak, nggak peduli itu teriak, geraman, keluhan, atau apapun itu, gue potong seratus ribu dari hasil bapak."

Dia tampak tegang sejenak, tapi kemudian dia mengangguk. Matanya tampak serius, siap menghadapi tantangan ini.

"Siap?" tanya gue, sambil menepuk otot dadanya.

"Siap Mas Sayang," jawab Pak Brengos, dia membusungkan kedua otot dadanya yang perkasa nan montok, lengan-lengannya dilipat ke belakang.

"Potong seratus ribu," kata gue.

Pak Brengos melotot, membuka mulutnya seakan hendak protes, tapi kemudian setelah menyadari dia terkena jebakan gue, dia menggigit bibirnya seraya menundukan kepala.

Jepitan pertama dan kedua ditujukan langsung pada puting Pak Brengos yang besar dan mengeras. Gue tarik putingnya hingga panjang, kemudian menempatkan jepitan di tiap putingnya. Pak Brengos menahan rasa sakit itu dengan baik, mungkin karena bagian itu sudah biasa mendapat perhatian ekstra.

Sedikit demi sedikit, gue tambah jepitan-jepitan di dadanya. Otak gue sibuk memikirkan pola yang mau gue buat, masing-masing jepitan diletakkan tepat di samping putingnya. Rasa sakit pasti mulai merayap di dada Pak Brengos, tapi dia tetap diam, matanya pejam erat, napasnya terengah-engah.

Gue letakkan jepitan ketiga, keempat, dan seterusnya, membuat pola yang menyejajari lekuk bawah otot-otot di dadanya. Setiap jepitan baru adalah tantangan baru bagi Pak Brengos. Gue bisa lihat perubahan ekspresi di wajahnya tiap kali jepitan baru menempel.

Dia menahan semua itu dengan diam.

Tentunya gue nggak selesai disana, kurang menantang. Jepitan masih sisa banyak, dan tempat untuk dijepit juga masih banyak he he he.

Gue belai otot dada Pak Brengos menghargai keindahannya, dan meninjunya beberapa kali untuk menghargai ketangguhannya.

"Siap untuk barisan kedua?"

Kali ini Pak Brengos tidak terjebak lagi, ia mengangguk penuh semangat.

Gue mulai memasang jepitan-jepitan tambahan sekitar 4 cm di atas deretan jepitan pertama, melintang di bagian tengah dadanya dari kiri ke kanan.

Otot-otot di dadanya bergerak, meringis dengan setiap sentuhan baru, setiap tambahan jepitan.

Setelah kedua barisan terpasang sempurna. Gue melangkah mundur, menatap karya gue. Jajaran jepitan-jemuran berbaris rapi, seperti medal perang yang diperoleh dari pertarungan penuh rasa sakit ini.

Pak Brengos mengerenyit ketika gue mainkan jepitan-jepitan itu membuat kulit yang terjepit makin tertarik. Ia masih tak bersuara, menggigit bibirnya.

Hebat.

Tapi gimana kalo begini.

Gue buka dua jepitan yang ada di puting nya.

Pak Brengos tersentak kaget, tapi tetap nggak bersuara.

Putingnya yang baru saja terlepas menjadi semakin sensitif karena aliran darah yang sebelumnya terhambat oleh nipple clamp kini kembali membanjiri serabut saraf, menjadikan puting Brengos menjadi zona erotis yang amat sangat sensitif.

Lonte Kekarku, Pak BrengosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang