Senyam-senyum Sayani menyetujui anaknya untuk kembali ke Jakarta, wanita itu sepertinya sudah benar-benar merelakan sang anak dan bersikap lebih santai. Tapi sejujurnya, Hening sangat curiga dengan tingkah sang ibu, menurutnya ini terlalu mudah. Entah apa yang Raga bicarakan atau bahkan kalimat bujukan apa yang Prayan juga lontarkan hingga Sayani memburu-buru anaknya itu untuk lekas kembali pulang. Kemarin malam Hening dan Raga sampai ke ibu kota dengan selamat. Aden yang mendapat kabar dari Hening pun tentu merasa senang dan baru bisa bernapas lega, pikirnya Raga benar-benar bisa diandalkan.
Hari selanjutnya, seperti perkataan Raga, agenda mengajak Hening menuju makam kedua orangtuanya. Tapi sebelum itu, mereka berbelok dahulu ke rumah Nila untuk bertemu Enzi. Mendapat kabar jika anak itu demam lagi karena muntaber yang kembali kambuh. Tumben sekali, wanita itu mengabari Raga jika anaknya sedang sakit, tapi memang tidak lama ini Hening mendapat telepon dari Enzi kalau anak itu ingin bertemu dengannya, tentu melalui ponsel Nila. Sungguh suatu tindakan yang mengejutkan.
"Ning, saya mau bicara," ujar Nila yang datang dengan membawa gelas air putih untuk Enzi dan di taruh pada meja kecil di samping ranjang.
Hening yang duduk di sisi ranjang pun menatap Raga yang berdiri memperhatikan Enzi. Pria itu membalas tatapan Hening dan mengangguk pelan, menyuruh gadis itu untuk menerima ajakan Nila. "Kamu ngobrol dulu sana berdua, biar saya yang jagain Enzi," ucap Raga sembari duduk menggantikan Hening yang sedang menepuk-nepuk pelan kaki Enzi, anak itu sedang terlelap.
Hening bangun, mengekor pada Nila. Keduanya melangkahkan kaki sampai di halaman belakang. Jujur, baru kali ini dia menjejakkan kaki di rumah wanita itu, sudah seperti mimpi saja rasanya. Kediaman di sana tidak sebesar rumah utama keluarga Bimantara, sedikit lebih kecil. Gaya rumah gedongan pada umumnya. Hening disuguhi pemandangan dua kolam renang khusus dewasa dan anak kecil, ada pula tempat duduk yang teduh tidak jauh dari area itu.
Langkah kaki Nila terhenti pada ambang pintu kaca perbatasan ruang dalam dan area luar, Hening pun jadi ikut menghentikan langkahnya. Wanita yang dulu merundung Hening itu membalikkan badan, ekspresi yang dibuat tampak melunak tidak angkuh seperti biasanya, yang Hening tangkap dari raut wajah itu adalah, rasa penyesalan, ia yakin sekali.
"Saya mau minta maaf," ucap Nila tiba-tiba dan terdengar cepat pada rungu Hening hingga gadis itu mematung merasa tidak percaya dengan ucapan Nila. "Saya benar-benar ingin meminta maaf ke kamu. Atas semua perlakuan saya selama ini, saat dulu waktu SMA sampai detik ini, saya minta maaf."
Hening terkesiap dan juga bingung dengan permintaan maaf yang menurutnya terlalu tiba-tiba dari wanita dihadapannya. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan uang. Karena situasi sekarang sungguh di luar logikanya, seorang Nila Kamala sedang meminta maaf kepadanya.
Wow, gue beneran nggak lagi mimpi kan?
"Kamu ... nggak habis kepentok apa gitu, Nil?" Hening dengan hati-hati bertanya demikian, barangkali telinganya tersumbat sesuatu atau mungkin otak Nila sekarang sedang miring beberapa derajat.
Nila menghela napas berat. "Saya tahu kamu pasti belum percaya. Diri saya sendiri pun nggak nyangka bakal bisa minta maaf kayak gini ke kamu," jujur Nila. "Saya ingin memperbaiki diri, Ning. Memang tidak mudah tapi setidaknya dengan satu langkah permintaan maaf ini, berharap bisa mengawali sesuatu yang baik ke depannya."
Hati Hening terketuk. Ucapan permintaan maaf Nila memang terdengar tulus, bahkan emosi sedih yang diperlihatkan Nila dapat menggetarkan hatinya, wanita itu sedang tidak bersandiwara.
"Enzi ... Enzi di bully," tutur Nila dengan perasaan yang terpukul. Senyuman yang terpaksa ia tarik dilemparkan pada Hening. "Dulu saya yang suka merundung orang, sekarang anak saya yang harus menanggungnya ... saya sadar, bagaimana rasanya jika seorang ibu tahu kalau anaknya dirundung." Nila menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menahan emosi yang kembali tersulut. Jika mengungkit hal ini, betapa malunya Nila sebagai seorang manusia.
Ekspresi iba lantas mengungkung rupa Hening sekarang. Tentu hatinya terasa berat apa lagi menyangkut Enzi. Tapi ingin bagaimana lagi, kenyataan pahit ini memang harus dijalani oleh Nila sebagai penebusan dosa. Hening pun mengelus pundak Nila, mencoba menenangkan.
"Saya sudah maafin kamu, Nila. Semoga nggak hanya sebatas kata, tapi benar-benar mau merubah sikapmu."
***
Sungguh berat hati rasanya meninggalkan Enzi dalam keadaan sedang sakit seperti itu. Di sepanjang perjalanan Hening tidak banyak berbicara, dia lebih memilih untuk mendengarkan lagu radio yang Raga putar sambil melempar atensi ke luar jendela. Terik mentari mendatangkan perasaan semangat untuk menjemput rezeki, buktinya terlihat banyak sekali aktivitas manusia di luar sana yang sedang sibuk menjalankan usahanya, di sepanjang jalan ada toko-toko sederhana yang menjajakan makanan, sampai kios barang bekas.
"Gimana tadi sama Nila?" Raga memulai pembicaraan sambil mengecilkan suara radio yang sedang memutar lagu barat.
Hening menoleh ke arah Raga dengan senyum kecilnya. "Nila minta maaf," tanggap Hening diikuti helaan napas. "Enzi di bully di sekolahnya. Katanya Nila mau merubah sikap, aku masih nggak percaya akhirnya kami bisa damai. Mas, coba deh cubit pipiku, Ning mau mastiin kalau lagi mimpi atau—aaa sakit!"
Raga mencubit pipi Hening dengan pelan, yang diikuti kekehan seraya memarkirkan mobil di dekat pohon rindang. "Nggak lagi bermimpi kan? Syukurlah Nila sudah ada niatan untuk berubah. Saya lelah lihat kalian perang terus."
Seraya mengelus pipinya, Hening mengangguk pelan. "Ya ... semoga saja dia bisa beneran tobat. Kasihan Enzi, anak semanis dia harus nanggung tuah dari ulah orangtuanya sendiri," ujar Hening seraya melepas sabuk pengaman, diikuti pula oleh Raga.
Mereka berdua pun turun dari mobil, baru terasa hawa panas pada siang hari itu. Tidak lupa Hening membawa tas plastik yang berisi bunga dan air mawar untuk wewangian. Sampai juga di tempat peristirahatan terakhir manusia, di sana gundukan tanah dihiasi rerumputan hijau terhampar luas. Pemakaman yang tampak terawat rapi, tapi terasa kosong. Seuatu yang dimaklumi jika berkunjung ke tempat seperti itu, hawa kesedihan pun kembali hadir.
Khusus untuk Raga, rasa rindu sedang menyelimutinya setelah keduanya berdoa dan menaburkan bunga ditambah wewangian air mawar pada makam Citra dan Auriga; orangtua Raga, yang berdampingan. Hening dan Raga bercangkung, menatap tiap-tiap nisan nama yang terpampang di sana. Saat di Yogyakarta kemarin, Hening tidak dapat membendung air matanya kala menjenguk makam sang ayah. Berbeda dengan Raga, pria itu kini hanya bisa menyungingkan senyum tipis.
"Sudah lama saya tidak menjenguk kalian, hm ... tiga atau empat tahun yang lalu?" ujar Raga seraya mengelus nisan sang ibu.
Fokus Hening beralih ke Raga, dari samping ia dapat melihat manik hazel pria itu memancarkan kerinduan dan juga penyesalan.
Raga pun perlahan berdiri, diikuti Hening seraya memasukkan botol bekas air mawar yang kosong ke dalam plastik.
"Omong-omong soal hubungan kita ...." Tubuh Raga sedikit menyerong menghadap Hening, ia menunduk menatap kedua manik sang gadis. Perkataannya pun harus menggantung kala menelisik rupa dihadapannya.
Entah mengapa, Hening menjadi gugup sekarang. Tapi kenapa pula Raga harus membahas ini di kuburan? Jadi mendorong rasa ketakutan gadis itu, bagaimana jika kalimat yang akan diucapkan Raga selanjutnya dapat mematahkan sesuatu dalam diri sang gadis?
"Kenapa, sama hubungan kita?" tanya Hening mencoba memberanikan diri. Sebab topik ini cukuplah sensitif.
"Kesepakatan kita selesai sampai di sini," tutur Raga dengan sorot mata yang serius. "Hubungan pura-pura yang kita jalin selama ini sudah berakhir, Ning."
Ah, akhirnya status gue dan Raga jelas juga. Meski dengan hati yang mencelos.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mitambuh
Lãng mạn[TAMAT] Hening Merona setuju pacaran pura-pura dengan Raga Tatkala Juang karena lelaki itu konon mampu menghilangkan kutukan yang menempel pada dirinya. Tidak hanya Hening yang punya kepentingan pribadi, Raga pun sama. Hubungan baru yang semula Heni...