Kisah seseorang selalu berakhir, entah pada akhir yang bahagia atau sebaliknya. Tapi, ada yang bilang kalau kisah yang berakhir bahagia tandanya belum berakhir. Karena nyatanya, semua akhir dari kisah maupun perjalanan itu sangat menyakitkan. Sama seperti yang aku alami waktu itu. Dimana rasanya semua hampa, sanubari yang hampir mati dan sesak yang terbelenggu dalam diri.
Tempatku bertumpu dan mengadu hilang, direnggut paksa oleh semesta. Saat dia berkata semesta kalau bermain peran antagonis, jahatnya beneran, gak main-main. Dia benar. Tapi, disaat-saat aku bersamanya, entah mengapa rasanya seluruh alam semesta seperti mengijinkan kami untuk bersama. Mereka tidak melarang kita bahagia, mereka tidak menggangu waktu kami tersenyum lebar, mereka tidak mengusik kala kita tertawa, mereka tidak mencemooh kala kami nelangsa.
Awalnya kukira seperti itu.
Tapi, pada akhirnya semesta memang tidak pernah bisa diduga. Selalu banyak kejutan yang tak terduga. Kalau kanigara dunia sudah bilang sabdanya, cipta, rasa maupun karsa; gak bakal ada gunanya.
Kala itu, aku ingat sekali dimana kali pertama kita bertemu. Aku bersumpah bahwa ditempat itu adalah awal dan akhir dari cerita kita. Dari harsa yang terpaksa menjadi luka. Dari suka yang harus menjadi duka. Dan cerita yang harus berakhir menjadi kenangan.
Kisah sederhana yang ternyata tidak direstui semesta, namun tidak berakhir sia-sia. Karena nyatanya, aku dan kamu dapat menemukan jati diri masing-masing lewat satu sama lain. Karena nyatanya, hidup aku yang membosankan menjadi lebih menyenangkan. Karena nyatanya, banyak hal membahagiakan yang kita temukan. Karena nyatanya, kita lebih kuat dari sebelumnya.
Di setiap penghujung tahun yang selalu dingin, pikiranku melayang jauh kembali pada waktu itu. Dimana kamu yang seenaknya pergi tanpa pamit atau undur diri, pergi ketempat yang jauh, hingga aku tidak bisa menemukan eksistensi mu lagi. Kamu pergi meninggalkan banyak luka di hati yang belum sempat sembuh. Kamu mengingkari janji yang bahkan kamu ukir sendiri.
Kamu membiarkan aku kembali terbelenggu sepi di bulan Desember dengan dingin yang lebih mendominasi.
Tega sekali.
Kisah kita yang kamu bilang akan abadi, tapi nyatanya kamu berbohong lagi. Tidak ada yang abadi disini, entah aku kamu atau kisah kita. Semuanya hanyalah fana. Dari awal kita memang tidak pernah bisa bersama, kita bukan takdir yang semesta mau, kita hanya sekedar insan yang berlakon di atas panggung dunia tanpa tahu naskah dan alurnya.
Buma, jika kamu tidak menghampiriku kala itu, jika kamu tidak menyodorkan tanganmu, jika kamu tidak bilang bahwa senja lah langit kesukaanmu. Mungkin, aku tidak akan pernah tahu kalau hidupku tidak pernah sia-sia. Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya pulang ke rumah. Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya dicintai. Aku tidak pernah tahu sebegitu berharganya esensi aku di dunia ini.
Mungkin... Aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya sakit saat kehilanganmu.
Jika kisah kita tidak akan pernah abadi. Biarkanlah aku menulisnya sebagai bait-bait aksara disini, agar dunia tahu bahwa kita pernah mengukir kisah kasih yang diharapkan akan abadi.
Aku, kamu, langit senja kala itu serta gerbong-gerbong kereta ekonomi yang selalu aku lihat untuk menghilang penat; adalah saksi dimana kisah kita bermula. Kisah yang awalnya kuduga akan abadi.
Menggoreskan tinta pada lembaran buku baru untuk diisi dengan cerita lama ternyata lebih susah dari membolak-balik lembaran buku kosong yang aku genggam saat ini. Karena setiap bait aksara yang aku tulis, membutuhkan usaha untuk aku mengingat kembali luka lama.
Jadi, semesta, tolong kenang cerita kami untuk selamanya.
Sampai jumpa di lembar berikutnya...
Hai, ini cerita pertama aku yang aku publish setelah mengumpulkan rasa percaya diri yang butuh waktu lumayan lama. Jadi, boleh minta dukungannya? Satu bintang aja sudah sangat cukup buat kasih aku semangat buat menulis cerita-cerita baru kedepannya.
Terimakasih dan sampai jumpa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under The Sky; SANDYAKALA
FanfictionTentang rasa yang harus abadi dalam bait aksara, tentang asmaraloka yang menjadi melankolia, tentang harsa yang berakhir lara dan tentang aku dan kamu yang sementara. "Kalau besok lo masih dikasih kesempatan buat hidup, tetaplah hidup."