Memang benar.
Suara itu ternyata memang milik Jong-in. Bukan orang lain sebagaimana yang disangka Soo-jeong tadi.
Siapa yang mengira bahwa Jong-in ternyata seorang dokter? Tidak setitik kecil pun ia pernah menduganya.
Soo-jeong tak sanggup berkata apa pun. Lidahnya kelu dan berat, seperti ditahan berton-ton besi. Ia tak mampu menjawab pertanyaan Jong-in. Hanya matanya saja yang berkedip-kedip ke arah laki-laki itu dengan pikiran berkelana ke saat-saat kemarin.
Sekarang ia mulai memahami segala hal yang ada di seputar diri Jong-in. Mulai dari ketidakhadirannya di kelas waktu itu, rasa percaya dirinya yang besar, pengetahuannya yang luas, dan juga pandang matanya yang menyiratkan rasa geli setiap dimarahi Soo-jeong.
Soo-jeong masih bisa mengingat dengan jelas bola matanya yang berlumur rasa geli dan senyumnya yang tertahan, yang pernah membuatnya hampir melemparkan sepatu ke wajah pria yang dianggapnya kurang ajar itu.
Ternyata, ada alasan kuat kenapa Jong-in bersikap seperti itu ketika ia menegurnya.
Teringat semua itu, rasa kaget yang semula menguasai Soo-jeong berangsur-angsur berubah menjadi amarah.
Ia merasa dipermainkan.
Rasa malu dan tak berdaya karena keadaan dirinya yang terbaring lemah dengan sebelah kaki patah di UGD itu membuat amarah Soo-jeong semakin menjadi-jadi.
Pastilah Jong-in merasa dirinya menang. Pastilah Jong-in semakin menertawakan dosennya yang lebih muda tetapi berlagak bagai ibu guru teladan itu. Dan kemudian ciuman-ciuman mereka, lalu rasa rindu yang menyiksa jiwa itu?
"Ya Tuhan, kenapa aku harus mengalami keadaan seperti ini." Soo-jeong mengeluh dalam hatinya.
Ia ingin menangis keras-keras. Ia ingin marah besar.
Jong-in yang masih menunggu jawaban Soo-jeong melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada air muka dosennya itu. Merah, pucat, murung, dan dahinya berkerut. Ia bisa menduga apa penyebab perasaan kacau gadis itu.
Pelan-pelan ia mendekat ke sisi tempat tidur di bagian kepala Soo-jeong.
"Soo-jeong~ssi, sebaiknya sekarang ini Anda singkirkan dulu berbagai perasaan yang mengharu-biru."
Jong-in berkata kemudian dengan suara amat lembut namun terdengar tegas.
"Lupakan juga sejenak bahwa saya ini mahasiswa Anda, dan Soo-jeong~ssi dosen saya. Mari kita hadapi kenyataan saat ini di mana Soo-jeong~ssi membutuhkan penanganan dokter. Kebetulan saja saya ini dokter itu.."
Untuk beberapa saat, Soo-jeong diam saja agar perasaannya yang bergolak itu jangan sampai meledak.
Tapi ternyata tidak mudah. Ia benar-benar merasa seperti dipermainkan.
Jong-in telah bersikap tidak jujur. Jong-in telah menyembunyikan kenyataan tentang siapa dirinya yang sebenarnya.
"Saya tidak bisa menyingkirkan semua kenyataan yang ada selama ini dari pikiran saya, Dokter!"
Soo-jeong mulai menyembur. Dan dengan sengaja suaranya menekan keras sebutan "dokter".
"Anda telah mempermainkan saya. Menyingkirlah dari sini. Saya ingin ditangani dokter lain saja."
"Tidak ada keinginan saya untuk mempermainkan—"
Suara Jong-in terhenti oleh bentakan Soo-jeong. "Tinggalkan saya, Dokter. Dan jangan ke sini lagi. Saya benci orang yang tidak jujur. Anda tahu betul mengenai hal itu!"
Amarah dan frustrasi telah menyebabkan air mata Soo-jeong mulai ikut bicara.
Jong-in tertegun. Baru sekarang ia menyadari arti kemarahan Soo-jeong.
KAMU SEDANG MEMBACA
0 cm | Kaistal ✓
FanfictionSOO-JEONG, seorang dosen, dibuat bingung ketika harus berhadapan dengan JONG-IN, mahasiswanya. Pemuda itu selalu mencari-cari perhatiannya. Misalnya, selalu bertanya, atau yang selalu paling dulu menjawab, atau menegur kapanpun bertemu dengannya. Jo...