1.

2 0 0
                                    

Januari seharusnya menjadi bulan yang paling menyenangkan di antara saudaranya. Kenapa?simpel saja, tahun baru, resolusi baru. Begitulah yang dipikirkan oleh sebagian besar masyarakat yang optimis. Tidak ada yang salah dengan optimis, itu bagus,kok. Aku suka dengan hal yang optimis. Hanya saja kadang ada yang kelewat positif sehingga mereka kecewa karena tidak bisa mendapatkan apa yang mereka mau.

    Seperti siang ini. Aku sedang duduk berhadapan dengan temanku setelah kembali dari liburan 2 bulan yang cukup menyenangkan karena pergantian semester kuliah. Kami berempat, aku, Maria, Salwa, dan Rayi berada di kafetaria kampus kami yang sangat terkenal dengan beraneka macam jajanan. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan Pujasera, namun bagi mahasiswa, tempat ini lebih dikenal sebagai Tendor (Tenda Oren. Iya, atapnya pakai tenda berwarna orange). Siang ini cukup terik, tendor tidak menyediakan pendingin ruangan. Karena letaknya berada di luar kampus, jadi mau tidak mau satu–satunya pendingin yang bisa didapat hanyalah hembusan angin pelan. Itu pun tidak mempan untuk mengusir keringat yang ada di dahi kami semua.

    Oh iya, soal optimis tadi, aku sedang menyaksikan Salwa yang misuh-misuh di samping Rayi,"sumpah gue kesel banget!" Kata Salwa sambil menatap ponselnya

"Ya,kan, udah gue bilang juga apa. jangan terlalu santai, terima aja akibatnya" Omel Rayi

"Nggak santai, gue cuma menunggu waktu yang pas buat masuk kelasnya bapak itu!Ah elah!kesel banget sumpaaahhh" Rengek Salwa

"Dari kemaren udah gue bilang daftar, Wa. Kelas beliau selalu penuh tiap pergantian semester, lonya nggak mau denger, sih" Kali ini Maria ikut bersuara di sampingku

    Aku masih asik menyeruput Thai tea yang kubeli di kedai trotoar depan kantin. Enaknya minum minuman favorit di siang yang terik ini, "Kelewat optimis, tuh. Bilangnya ke gue gini kemaren ' ah gue sih pasti dapet! tangan gue mah dewa' eh liat sendiri kan, karma." Kataku ikut mengompori. Tugasku di pertemanan ini ya mengompori satu sama lain, hehe.

    Salwa berdecak, "Ck, jadi temen bantu dikit kenapa, sih! Nggak setia kawan bangeeet. Kalian mah enak udah pada dapet kelasnya beliau, lah gue ketinggalan" Serius, andai saja Salwa tidak cemberut, mungkin kalian bisa lihat bahwa dia memiliki lesung pipi di kedua sisi pipinya saat dia tersenyum.

    "Ya kita mau bantu juga gimana, Wa. Kan udah diingetin dari kemaren di grup kalo kelasnya pak Handri tuh kaya lagi friday night sale, first buy first get. we can't do anything unless there is a miracle and it only happen once in a blue moon" Kata Maria dengan tenang sambil menyendokkan mie ayam ke mulutnya

    Awal semester memang selalu disibukkan dengan rebutan kursi untuk dosen favorit masing-masing. Seperti kata Maria, friday night sale. Anggap saja rebutan kursi ini sama dengan ketika para wanita berburu diskon-diskon dengan harga miring di mall yang diadakan hampir setiap akhir tahun. Enaknya, sih, tidak perlu antri panjang untuk mengantri di kasir. Mengisi jadwal kuliah butuh kesabaran ekstra, entah server kampus down, webnya error, atau bisa saja seperti Salwa sekarang ini. Salwa hanya bisa berdoa agar bapak dosen yang terkenal dengan kerendahan hatinya itu membuka kelas lain agar ia dan mungkin beberapa teman lainnya yang tidak kedapatan kelasnya, bisa masuk meski berada di hari yang berbeda dengan teman lainnya.

"Jangan cemberut gitu, dong. Udah semester baru, ya meski baru semester dua, tapi kan semester baru, semangat baru!" Hiburku kepada Salwa" Eh, lo nggak ada imut-imutnya asli deh kalo cemberut gitu! Sori aja nih" Tambahku

Wajah cemberut Salwa menatap ke arahku bersamaan dengan tangan kirinya yang mengepal, memukul lenganku agak keras" Demi Tuhan bener-bener ya lo! Awas aja besok kalo pulang nggak akan gue tebengin! biarin lo pulang jalan kaki"  protesnya

Aku dan Rayi hanya tertawa melihat tingkah Salwa, sedangkan Maria masih asyik menyeruput kuah mie ayam yang dia sayangi itu. For your information, kami berempat sudah menjalani pertemanan yang cukup lama, kira-kira lima tahun. Aku dan Rayi sebetulnya sudah lebih dulu kenal. Orangtua kami (lebih tepatnya ibu) sudah bersahabat sejak kuliah, jadi bisa dipastikan mengapa aku dan Rayi bisa berteman. Aku mengenal Maria sejak kami duduk di bangku 2 SMP. Pertemuan kami cukup unik, yah, mungkin lebih tepatnya aneh. Coba tebak dimana kami bertemu? yang jelas, bukan di sekolah atau kantin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Saat Bintang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang