[🔗] 02. Belahan Jiwa

325 28 4
                                    

.

We share the same things; same night, same mind and same dream. Through, the same pain.


.



          "Setelah ini, haruskah aku jadwalkan pertemuan lagi?"

          Jeka harap-harap cemas saat ini. Di hadapannya ada sosok William Jeonㅡpsikiater yang membantu merawat Jeka setelah tragedi kecelakaan nahas kala ituㅡtengah menatapnya lekat sekali dari balik bingkai kacamata bulat. Ada jeda yang cukup lama sebelum Jeka dengar suara helaan napas sang dokter.

          "Aku sudah mengatakannya tadi, kau baik-baik saja Jeriko." ujar Dokter William, sejenak laki-laki dengan hidung bangir itu kembali fokus dengan catatan medis miliknya, terus menuliskan berbagai kata sebagai hasil pemeriksaan hari ini untuk rekam jejak. "Kondisimu stabil. Kau baik-baik saja. Sangat baik-baik saja jika kau berhasil membuang pikiran negatif yang berkemungkinan memancing traumamu."

          Tatap Jeka bergulir, jatuh dan mengikuti gerak bolpoin yang sang dokter pegang. Dokter William berhenti menulis, dia mengetukkan bolpoin miliknya di atas rekam jejak hari ini. Seolah menegaskan Jeka, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

          "Tapi Dok," Jeka menahan diri, berdeham pelan untuk menstabilkan suaranya yang mendadak pecah. "Tapi kejadian hari itu... cukup aneh. Bagaimana bisaㅡjika biasanya aku sudah masuk IGD karena terkena panik attack, tapi kemarin... aku bahkan tak sempat menyentuh obatku. Sedetik sebelum semuanya kembali normal aku bahkan masih lupa caranya bernapas, aku yang tidak pernah menang melawan itu tiba-tiba mengalami sebuah keajaiban, bukankah itu sangat aneh??"

          Di saat Jeka makin meremat jari-jari tangannya, William yang tampak kehabisan kata-kata kini melepaskan kacamatanya sendiri. Menyadari gelagat Jeka yang mulai gelisah, dokter berusia kepala tiga itu mengurai rematan serta kepalan tangan Jeka, lalu memberi sedikit pijatan di beberapa bagian jari dan telapak tangan sebagai maksud untuk mengurangi kecemasan yang lebih muda.

          "Kalau begitu, apa kau mau mendengar saranku?" tanya William, langsung direspon anggukan kepala cepat oleh Jeka. "Ini saranku sebagai orang yang sudah menganggapmu sebagai adik sendiri, bukan saran dari seorang dokter kepada pasiennya."

          "Katakan," sambar Jeka. "Katakan saja, apapun itu."

          "Aku bukan seorang pakar, tapi kurasa, keajaiban yang membuat traumamu sirna begitu saja, tanpa perlu kau menyentuh obatmu atau kau yang tidak harus dilarikan ke IGD, Jeriko you've just met your soulmate."

          "Tidak," kata penolakan itu menyembur cepat dari mulut Jeriko. Ia terus menggelengkan kepala meski di hadapannya William memberikan tatapan paling yakin yang pernah ia lihat. "All about soulmate things justㅡthat's the biggest bullshit."

          William mengulas senyum tipis.

          Senyumnya tidak bermaksud menambah keyakinan atas apa yang dia ucapkan beberapa saat lalu, tapi dia tersenyum dari hati, rasanya dia telah sering melihat siklus mood Jeka yang lajunya bahkan lebih cepat dari rollercoaster. Meski fakta mengatakan dia dengan Jeka terpaut tidak lebih enam tahun, William selalu memandang Jeka sebagai sosok adik kecil.

          Dan William baru saja tersenyum karena membayangkan jika Jeka yang panik saat ini adalah respon atas ketakutan jika dia mengadu pada Ibu bahwa Jeka baru saja memecahkan toples di dapur.

          "Ya, you're right. Semua yang berkaitan dengan soulmate memang terdengar tidak masuk akal," tapi William sudah sangat paham, bagaimana dan apa yang harus dia lakukan jika Jeka berada dalam mood ini. "Memang sulit untuk diterima logika, bukan kah begitu?"

Recyle : JikyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang