CHAPTER 34 - THE MAN WHO SOLD THE WORLD

17 6 5
                                    

DI hadapan mereka saat ini: sebuah lingkaran hijau yang tampak begitu mencolok di tengah pekatnya luar angkasa. Tidak ada planet di sekitar, tidak pula taburan bintang. Lingkaran itu persis seperti gerhana cincin, dan itu tampak sangat menawan di mata Vahn.

"Jadi ini yang dinamakan Fawrin itu?" tanyanya sembari tetap fokus ke depan dengan mata tak berkedip. "Ini benar-benar indah."

"Bukan hanya indah, tapi juga benar-benar berguna," tambah Xade. "Begitu kita menembus lubang ini, kita akan langsung tiba di Galaksi Higes. Luar biasa, bukan?"

"Bersiaplah untuk sedikit guncangan," Yadsendew memperingatkan melalui speaker. "Kita akan segera memasuki lubang ini."

Tanpa perlu waktu lama, Yadsendew mendekati lubang pekat itu hingga cincin hijau Fawrin tidak terlihat lagi. Turbulensi pun terasa seiring mereka terus melaju mengarungi kegelapan.

"Nah, Vahn," ujar Xade begitu hamparan bintang yang terang mendadak terbentang di hadapan mereka. "Selamat datang di Galaksi Higes."

Vahn menganga tak percaya. "Yang benar!? Kita sudah benar-benar berada miliaran leiv dari Bumi?" tanyanya tak sabar dengan mata berbinar. Ia bahkan sampai bangkit dari kursinya dan berdiri persis di depan jendela, dimana sejumlah planet asing terlihat di sana.

"Xade, lihat!" Vahn menunjuk-nunjuk seperti anak kecil yang sedang diajak berlibur. "Ada kapal-kapal aneh yang beterbangan selain kita! Apa mereka alien?"

Xade mengangguk seraya tersenyum melihat bocah yang beberapa jam sebelumnya masih mual dan lemas itu. "Tentu saja. Ada banyak planet berpenduduk di galaksi ini. Kapal-kapal yang berlalu-lalang dari planet yang satu ke planet lain merupakan hal yang lumrah. Setelah perang nanti, kau bisa bebas pergi jalan-jalan ke planet manapun yang kau mau, Vahn."

Vahn tidak menjawab. Ia sudah terlanjur hanyut dalam ketakjuban menyaksikan pemandangan yang selama ini hanya ada dalam imajinasinya itu.

"Nikmatilah, Vahn," kata Yadsendew. "Karena semakin dekat kita ke Sanivia, lalu lintas luar angkasa ini akan semakin sepi."

Vahn langsung mengerti. "Apa separah itu perang di Sanivia sampai memengaruhi lingkungan planet di sekitarnya?"

"Tentu saja," jawab Xade. "Pasukan Vigard selalu datang dalam jumlah besar." Xade menunjuk satu planet terdekat. "Bayangkan ada ratusan kapal besar menyerbu planet itu, Vahn. Mereka datang dengan niat menyerang dan menghancurkan. Seperti itulah kondisi Sanivia tiap kali Vigard datang. Dan itu adalah pemandangan yang lebih mengerikan dari yang kau bayangkan. Bukan hanya tidak ada yang berani melintas, sebagian penghuni planet-planet terdekat bahkan sampai mengungsi karena takut terkena dampak."

"Berarti Vigard benar-benar semengerikan itu sampai-sampai planet tetangga tidak ada yang mau terlibat dan membantu," tanggap Vahn.

"Tidak lama lagi kita akan sampai," kata Yadsendew melalui speaker. "Mulailah sedikit-sedikit melatih lubang hitammu, Vahn."

Xade mengangguk. "Dew benar."

"Baik," jawab Vahn. Ia membuka tangan kanannya seraya berkata, "Awasi aku, Xade."

* * *

LAJU kapal Dren memelan dan merendah mendekati sebuah tebing tinggi yang puncaknya tak terjangkau oleh lautan manusia di bawahnya. Tidak hanya terlalu tinggi untuk digapai, tebing tersebut juga diproteksi gelombang listrik yang akan langsung menewaskan siapapun yang berani menyentuhnya.

Semua itu demi melindungi sebuah bangunan megah di puncak tebing besar nan luas tersebut. Bangunan itu begitu kokoh lantaran terbuat dari batu yang sama dengan tebing tempatnya berdiri dan awet selama ribuan tahun. Meski dirancang dengan ukiran-ukiran seni di berbagai dinding dan mulus sebagaimana estetika sebuah istana seharusnya, bagian luar bangunan itu dibiarkan tidak diwarnai sehingga tampak seperti menyatu dengan tebing. Tidak ada dekorasi, tidak pula ada tanaman apa pun.

The UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang