Chapter 16 Pembalasan Dendam Pak Brengos

2.9K 82 17
                                    

Hari kami berjalan lancar, klien demi klien terpuaskan.

Namun sore itu, matahari yang bersinar sejak pagi mulai tertutup awan mendung.

Ruang makan kami dipenuhi aroma hangat daging sapi panggang, Pak Brengos, duduk di meja makan, dengan pisau bergerigi, dia memotong steak di piringnya, lalu menyuapkan gigitan besar penuh protein ke mulutnya, makanan kelima hari ini.

Setiap sore, setelah hampir semua sesi dengan klien selesai, gue mengijinkannya menelpon keluarganya di Kedungrejo. Dia sedang ngobrol lewat video call dengan Adi, anak sulungnya.

Saat gue mendekat, gue mendengar mereka sedang berbicara dalam bahasa jawa, meskipun nggak sepenuhnya ngerti, tapi sepertinya tentang kondisi ibu Adi yang tidak kunjung membaik.

Hati gue pun terasa seperti tersayat mendengarnya.

Suasana menjadi hening, hanya bunyi rintik gerimis yang mulai turun terdengar.

Mungkin nggak mau bikin gue kuatir, begitu sadar akan kehadiran gue Pak Brengos mengganti topik menanyakan kabar ke Adi.

"Lha, piye kabare, Bapak?" tanya Adi bertanya balik.

"Yo mesti sehat! Jenenge juga bapakmu," balas Pak Brengos nyengir sambil memamerkan otot bisepnya yang besar dan keras ke kamera.

Pak Brengos mengangkat tablet-nya ke arah gue, "Ayo, Mas Ari, ikut rembugan."

Gue berjalan mendekat.

Mungkin karena kebiasaan, Pak Brengos menarik gue duduk di pangkuannya.

Adi kelihatannya tidak curiga sama sekali, untungnya keluguan Pak Brengos menurun ke dirinya.

"Hai Adi, apa kabar?" sapa gue sambil melambaikan tangan ke kamera.

"Hai Mas Ari!" balas Adi dengan senyuman lebar di wajahnya. Dia memegang kamera dan mengarahkannya ke rumah mereka yang baru. "Lihat Mas, ini omah anyar kami."

Layar menunjukkan rumah sederhana dengan teras luas dan kebun sayuran di belakangnya. Pak Brengos, dengan mata berkaca-kaca, menunjukkan senyum lega sambil terus makan.

"Matur nuwun, buat semua bantuannya ya Mas Ari!"

"Itu semua berkat kerja keras bapakmu!" kata gue seraya menepuk-nepuk bahu berotot Pak Brengos, lalu tangan lanjut menjelajah turun melewati lika-liku otot-otot punggungnya.

Pak Bregos kelihatan mau menolak pujian gue, tapi hanya bisa menggeleng kepala karena mulutnya sibuk mengunyah potongan daging yang terakhir.

Adi, masih memakai seragam SMAnya, tampak mirip dengan versi muda Pak Brengos. Wajah tampan, tubuh kekar, penuh semangat, Sama seperti bapaknya, dia juga hobi binaraga.

"Wah, Adi! Ototmu semakin besar saja," puji gue.

"Saya kepengin jadi binaragawan profesional kayak Bapak, Mas Ari," kata Adi dengan antusias. "Biar bisa mbantu Bapak golek rejeki."

Di depan keluarganya Pak Brengos bilang bahwa dia bekerja sebagai binaragawan pro, dan gue itu sponsornya. Mereka percaya aja, mengira dengan jadi binaragawan bisa menghasilkan uang sebanyak itu.

Pak Brengos tersenyum lebar, "Bapak bangga karo kowe, Nak."

Kami berbincang sebentar, lalu tiba-tiba Pak Brengos berdiri "Mas Ari, Adi, kalian omong-omong wae, Bapak mau nyantap pencuci mulut dulu."

Pencuci mulut? pikir gue heran.

Lalu gue sadar maksudnya, "Eh! Se..sekarang!!?" kata gue.

"Baik Pak, besok kita obrolan maneh ya" jawab Adi.

Lonte Kekarku, Pak BrengosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang