Nadine menyapukan kakinya di bibir pantai, membiarkan gemercik ombak laut menari pelan. Sembari netranya menutup. Gadis itu menengadahkan tangannya, menerima pelukan angin laut. Berharap dapat menghilangkan perasaannya pada seseorang yang telah meninggalkannya dua tahun lalu. Ya, gadis itu belum selesai dengan perasaan pada mantannya.
Namanya Nadine Chandrawinata, wanita usia dua puluh lima tahun. Seorang wanita independen dengan bisnis toko kuenya yang berhasil meroket di dunia kuliner Indonesia. Bisnis yang ia mulai sejak lulus kuliah tata boga empat tahun yang lalu. Toko kue yang ia bangun di tanah kelahirannya, Bali.
Embusan angin laut semakin memperdalam angannya. Bayang-bayang yang ia lewati dengan mantannya semakin menari-nari dalam pikirannya. Harusnya ia tak merintis usaha di sini. Karena semakin ia menetap di kota kelahirannya, bayang-bayang tentang mantannya akan senantiasa menghantui pikirannya.
Seseorang menepuk pelan bahu Nadine, membuat gadis itu seketika membuka mata dan menoleh ke belakang, mendapati seorang gadis lain menatapnya sendu.
"Pulang yuk, Din. Mau sampai kapan di sini? Sudah sore, nih, nanti kita kesini lagi, bareng sama Haliza juga." ajak gadis itu.
Nadine tersenyum. Menebarkan pandangannya pada hamparan Pantai Nyang Nyang yang mulai menampakkan semburat cahaya jingga sore hari. Gadis itu menatap sahabatnya dalam. "Iya, makasih ya Zi sudah bersedia menemani."
Azira mengangguk dan tersenyum manis, lantas menggandeng tangan Nadine untuk segera pulang meninggalkan pantai itu. Azira Putri, salah satu sahabat Nadine yang turut menemani keterpurukannya. Azira adalah seorang pengacara yang lumayan terkenal juga di Bali. Sahabat Nadine yang lain, Haliza Angelicha, sarjana dari tata boga namun takdirnya adalah seorang model yang memiliki jadwal paling padat diantara mereka. Mereka bertiga adalah teman seperjuangan dari Bali yang merantau ke Jakarta dan berakhir menjadi sahabat karena bertemu dari organisasi daerah.
Nadine adalah gadis cantik yang ceria dulunya, sebelum akhirnya kisah dua tahun itu membuat keceriaannya menghilang sampai sekarang.
***
8 tahun lalu.
"Mana yang saya suruh bawa kemarin, dek!" bentak seorang senior di acara Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Nadine hanya menunduk ketakutan. Hingga seorang lelaki menginterupsi.
"Maaf, Mas. Alangkah baiknya kalau sama cewek jangan terlalu keras."
Nadine melihat sekilas lelaki yang membelanya. Sama seperti dirinya, lelaki itu menggunakan hitam putih yang digunakan sebagai seragam mahasiswa baru saat itu.
Berani sekali lelaki ini, batin Nadine.
"Siapa kamu! Mau jadi pahlawan kesiangan? Sama-sama maba jangan sok deh!" bentak senior itu kemudian pergi, meninggalkan Nadine dan beberapa mahasiswa baru berdiri mematung.
"Hei? Nggak apa-apa?"
Ucapan lelaki itu menyadarkan lamunan Nadine dari rasa ketakutannya. Gadis itu mengangguk, lantas tersenyum. "I'm fine, thank's."
Lelaki yang telah menolong Nadine mengangsurkan tangannya. "Kenalin, aku Gusti. Maba dari tata boga nih. Asal Bali."
Nadine menerima tangan itu, "Nadine, maba tata boga juga."
"Oh, ya? Ternyata selain sekelompok, kita juga sejurusan ya?" ucap Gusti bersemangat.
"Sekelompok? Memang iya?"
"Wah, kamu nggak merhatiin ya ternyata."
Nadine hanya tersenyum. Dalam ospek kali ini, ia benar-benar tak memerhatikan dan mengingat orang dengan baik. Tujuannya hanyalah ingin segera selesai ospek. Tapi, tugasnya ternyata tertinggal di bus yang ia tumpangi pagi tadi. Nadine memilih berkuliah di Jakarta, tepatnya di Universitas Negeri Jakarta. Ia merantau dari Bali dan memang belum memiliki kendaraan di Jakarta.
"Mau berteman?"
"Tentu," jawab Nadine pelan. "Aku juga asal Bali, lho."
"Wah, asal mana, Nad?"
"Uluwatu, kamu?"
"Bangli, bisa ini kalau lagi liburan kita main."
"Boleh banget."
Pertanyaan singkat yang akhirnya membawa mereka dalam pertemanan yang panjang. Awal mula kisah yang membuat kehidupan Nadine layaknya roller coaster. Pun tentang panggilan 'Nad' itu, lelaki itu adalah satu-satunya orang yang memanggil Nadine dengan sebutan 'Nad' di saat semua temannya memanggilnya 'Din'.
***
"Bagaimana penjualan toko kue hari ini, nak? Lancar?" tanya Mami Nadine.
Gadis yang ditanya menatap sendu wajah ibunya, "Lancar, Mi."
"Syukurlah."
Maminya bukan warga asli Bali, melainkan warga Semarang yang menikah dengan Papinya yang asli Bali. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan panggilan khas orang Bali.
"Kamu ini, toko kue sudah maju seperti itu tapi nggak nikah-nikah juga kamu."
Ucapan itu tentu sudah sering didengar oleh Nadine, usianya juga sudah dianggap matang oleh orang di sekitarnya untuk segera menikah.
Mendengar ucapan Maminya, Nadine menghembuskan napas berat. "Ya mau bagaimana lagi, Mi. Belum ada yang sreg soalnya."
"Belum ada yang sreg atau kau belum melupakan mantanmu itu? Siapa sih namanya, Gusti-Gusti itu lah."
Nadine kali ini terdiam. Ucapan Maminya tentu saja ada benarnya. Bayang-bayang tentang Gusti tak pernah mau pergi dari pikirannya, meski sudah dicoba berulang kali, sosok itu tetap enggan untuk pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Bayangmu
RomanceDia datang menawarkan rumah indah, tapi kemudian dia pergi meninggalkan rumah menjadi kacau, membiarkanku sendirian dengan bayangnya.