Bab 1

489 67 11
                                    

***

Aku kesiangan.

Aku nyesel banget kenapa satu jam yang lalu justru dengan santainya mematikan alarm di atas nakas yang berbunyi nyaring. Aku melempar selimutku ke sembarang tempat dan bangun dengan napas yang terengah.

Gawat. Aku beneran nggak boleh telat hari ini. Karena kalau aku datang terlambat sedikit saja dari jadwal yang udah ditentukan, alamat sampai bulan depan aku belum tentu bisa ketemu sama dosen pembimbing ku lagi.

Iya, kalian pasti jelas sudah relate kan, gimana sibuknya jadi mahasiswi semester akhir yang mulai nyusun skripsi? Selain otak disuruh kerja dua kali lipat dan tingkat stres juga berada di kadar yang nggak lagi dapat ditoleransi, cobaan-cobaan untuk mahasiswi semester akhir seperti aku gini seolah belum ada habisnya.

Salah satunya ini, aku harus ngejar dosenku yang suka ngilang entah ke mana dan harus setia memantau jadwalnya.

Makanya, setelah mandi dan menyisir rambut sepundakku yang basah sekilas, aku nggak memedulikan lagi warna wajahku yang mungkin masih kusam karena aku nggak ada waktu lagi untuk memakai riasan. Aku hanya menyambar beberapa peralatan make up ku dan berniat untuk memakainya nanti kalau ada waktu luang.

"Ma, aku berangkat," kataku dengan cepat menyambar selembar roti tawar yang sudah diolesi dengan selai kacang dan menjejalkannya ke dalam mulut sambil melangkah buru-buru keluar.

Motor scoopy warna biru kesayanganku itu udah terparkir cantik di halaman depan, Papaku yang rajin dan baik hati jelas selalu siap memanaskannya setiap aku mau pergi. Tapi aku udah celingak-celinguk dan nggak menemukan beliau sama sekali, akhirnya, aku pergi tanpa berpamitan. Mengegas motorku dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata demi bisa menemui Pak Bima yang pagi ini ada jadwal mengajar.

Harapanku sih, aku bisa sampai di sana sebelum pukul delapan pagi. Coba aja tadi aku nggak telat satu jam dan nggak dengan songongnya mematikan alarm yang merupakan kunci surga untukku hari ini, mungkin aja aku udah duduk manis di dalam ruangan Pak Bima dan menunggui beliau memeriksa skripsiku.

Dan tahu apa yang lebih menyebalkan dari pada bangun kesiangan dan tidak sempat sarapan padahal perutmu sudah sangat keroncongan? Betul, kempes ban di tengah jalan.

Double sialan!

Baru beberapa meter setelah motorku bergabung di jalan raya, aku merasakan ada yang aneh. Perasaanku mendadak nggak enak, apa lagi waktu merasakan si biru kesayanganku ini justru bergoyang. Aku nggak bisa menahan umpatan kesalku waktu menepi di trotoar jalan dan lihat bahwa ban belakang yang sudah kempes total.

"Babiiiiiii!" Aku bener-bener udah nggak bisa menahan kedongkolan ku lagi. Rasanya pengin jongkok dan nangis keras-keras seandainya sekarang ini aku nggak lagi di pinggir jalan dan berakhir jadi tontonan banyak orang. "Kenapa harus sekarang sih, lo kumatnya?!"

Si biru itu tidak lagi menjadi kesayanganku! Demi apapun, pagiku hari ini kesialanku kayaknya lengkap sekali. Aku membuka kaca helmku, mataku yang memerah mencoba memindai sekitar demi menemukan bengkel yang sudah buka. Tapi aku nggak menemukannya di mana-mana!

Dengan segara sumpah serapah dan kedongkolan hati yang menjadi-jadi, aku nggak bisa menahan air mata lagi. Dadaku rasanya panas banget waktu dengan terpaksa aku mendorong motorku. Berjalan di sisi trotoar berharap bisa menemukan bengkel nggak jauh dari sini.

Pupus sudah harapan untuk ketemu Pak Bima. Aku kayaknya memang dipaksa untuk pasrah mengejar wisuda. Sialan sekali.

"Kenapa motornya?" Suara orang lain menyapa.

Aku berhenti dan menoleh, keningku mengernyit menemukan sebuah motor lain yang nggak aku kenal berhenti tepat di dekat motorku. Siapa? Dua orang cowok yang bahkan mereka sudah buka helm pun aku masih nggak mengenalinya.

My Beloved BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang